Community
Perempuan Marjinal Rentan Finansial: Literasi Rendah dan Akses Terbatas Jadi Penyebab
Beban ganda sebagai pengurus rumah tangga juga membatasi mereka dalam pengambilan keputusan keuangan, sehingga meningkatkan ketergantungan finansial pada pasangan atau keluarga laki-laki.
Risna Halidi
![Ilustrasi uang. (Unsplash)](https://media.dewiku.com/thumbs/2018/08/21/80116-ilustrasi-uang/745x489-img-80116-ilustrasi-uang.jpg)
Dewiku.com - Sebuah survei terbaru mengungkapkan bahwa 70 persen masyarakat Indonesia tidak memiliki tabungan. Fakta ini menjadi perhatian bagi berbagai pihak. Menurut data dari Goodstats (2024), salah satu penyebab utama kondisi ini adalah pengeluaran impulsif yang mencapai 34,5 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan kemampuan masyarakat dalam mengelola keuangan masih perlu ditingkatkan, terutama di kalangan perempuan marjinal. Salah satu faktor utama yang memengaruhi kondisi finansial perempuan marjinal adalah rendahnya tingkat literasi finansial mereka.
Baca Juga
Mengenal Empty Nest Syndrome, Babak Baru Kehidupan Orang Tua Ketika Anak Semakin Besar
Stop Overthinking! Yuk, Ubah Khawatirmu dengan Afirmasi Positif!
Di Balik Januari yang Panjang: Fenomena Psikologis atau Sekadar Perasaan?
Benarkah Menangis Berjam-jam Bisa Membakar Kalori?
RUU PPRT: Lebih dari Dua Dekade, Masih Menjadi Jargon Politik Tanpa Aksi Nyata
Satine, Perjalanan Memahami Rasa Kesepian Lewat Karya Terbaru Ika Natassa
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sebagai contoh, di Provinsi Nusa Tenggara Barat, rata-rata lama sekolah (RLS) perempuan hanya 6,27 tahun, sedangkan laki-laki mencapai 7,63 tahun.
Dikatakan Mona Monika, Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia, perempuan sering kali menghadapi keterbatasan akses ke layanan keuangan.
“Minimnya pemahaman tentang pengelolaan keuangan dan pentingnya menabung meningkatkan risiko kerentanan finansial perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor informal seperti buruh perkebunan,” ujarnya kepada Dewiku, Jumat (31/1).
Kondisi ini semakin diperburuk oleh ketiadaan perlindungan ekonomi yang memadai di sektor informal. Selain rendahnya literasi keuangan, perempuan marjinal juga menghadapi hambatan dalam mengakses produk perbankan, terutama di daerah terpencil.
“Banyak dari mereka yang mengandalkan layanan serupa perbankan, seperti bank keliling, yang sering kali berisiko tinggi dan berpotensi menjadi modus penipuan,” tambah Mona.
Perempuan juga sering kali bekerja di sektor informal, yang tidak memiliki perlindungan sosial seperti asuransi ketenagakerjaan atau pensiun. Selain itu, mereka cenderung menerima upah yang lebih rendah dibanding laki-laki.
![Ilustrasi menabung (Pexels/Karolina Grabowska)](https://media.dewiku.com/thumbs/2023/12/06/28264-ilustrasi-menabung-pexelskarolina-grabowska/745x489-img-28264-ilustrasi-menabung-pexelskarolina-grabowska.jpg)
Menurut Mona, beban ganda sebagai pengurus rumah tangga juga membatasi mereka dalam pengambilan keputusan keuangan, sehingga meningkatkan ketergantungan finansial pada pasangan atau keluarga laki-laki.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Mona mengatakan ada berbagai langkah dapat dilakukan, di antaranya:
- Peningkatan literasi finansial dengan program edukasi keuangan bagi perempuan marjinal perlu diperluas
- Akses lebih baik ke layanan keuangan dengan perluasan jangkauan perbankan di daerah terpencil sangat dibutuhkan
- Pemberdayaan ekonomi perempuan dengan pelatihan keterampilan dan dukungan usaha kecil dapat membantu meningkatkan kemandirian finansial mereka.
"Meningkatkan literasi finansial dan akses terhadap layanan keuangan bagi perempuan marjinal adalah langkah penting untuk menciptakan kesetaraan ekonomi dan masa depan yang lebih stabil," pungkas Mona.