Ragam

Aksi Kamisan: Kamis dan Hitam yang Akan Terus Menagih Janji

Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo Subianto digelar di seberang Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (24/10/2024).

Rima Sekarani Imamun Nissa

Ilustrasi payung hitam (Unsplash/Atharva Tulsi)
Ilustrasi payung hitam (Unsplash/Atharva Tulsi)

Dewiku.com - Langit Jakarta begitu mendung, seakan ikut merasakan kelabu yang menyelimuti tempat itu, Kamis (24/10/2024). Orang-orang kembali berkumpul, seperti yang mereka lakukan sejak lebih dari satu dekade lalu. 

Bagi mereka yang awam, mungkin ini hanya sekumpulan orang berdiri diam sambil membawa poster dan payung hitam. Namun, di balik hening yang tampak sederhana itu, ada jerit suara hati yang tak pernah padam: menuntut keadilan, menuntut perhatian, menuntut hak asasi yang terus diabaikan.

Mereka berbaju hitam berdiri di barisan terdepan. Wajah mereka menampakkan lelah yang tak hanya datang dari usia, tetapi dari penantian panjang yang entah sampai kapan harus mereka tuntut. 

Ini adalah Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo Subianto sebagai presiden. Sebuah aksi yang syarat makna, sekaligus penuh ketegangan akan harapan baru. 

Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto digelar di seberang Istana Merdeka, Jakarta (24/10/2024). (Dewiku.com/Elga Maulina)
Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto digelar di seberang Istana Merdeka, Jakarta (24/10/2024). (Dewiku.com/Elga Maulina)

Bagi aktivis Aksi Kamisan, Prabowo adalah sosok yang dekat dengan peristiwa yang menyebabkan mereka berdiri di sini. Kamis demi Kamis, tak tergoyahkan oleh panas, hujan, bahkan ancaman. Terlalu sulit mengabaikan fakta bahwa banyak dari mereka yang hilang akibat penyalahgunaan kekuasaan.

Kini, saat Prabowo resmi menjadi presiden, harapan sekaligus kekhawatiran melintas di benak setiap orang yang hadir. Mereka berharap era baru ini akan membuka pintu bagi keadilan yang telah lama tertutup. Namun, kekecewaan nyatanya juga turut membayangi.

Mamik Sri Supatmi, aktivis yang juga kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), hari itu tampak hadir di tengah kerumunan. Sosoknya tegar namun penuh ketegasan. 

"Saya sadar bahwa, cara-cara pembungkaman tidak selalu melalui kriminalisasi. Kita dibuat lelah, kita dibuat berhenti berharap, berhenti bermimpi dan berhenti berkehendak, itu adalah cara lain untuk membungkam, agar kita menyerah dan para penjahat yang mendapat impunitas melenggang bebas seperti tidak bersalah," ujarnya.

Kalimatnya tajam, penuh kekesalan, tetapi diselimuti oleh harapan yang tersisa, seperti bara yang tetap menyala di bawah abu kelabu. Mamik berdiri tegak, menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, seolah berusaha menyalurkan setiap sisa energinya untuk menyampaikan suara yang tak pernah benar-benar berhenti menggema.

"Sedih, kecewa, dan frustasi, tetapi kita tidak boleh berhenti menyerah. Ruang harapan itu masih ada, kita hanya perlu merawat ruang-ruang itu dan mengkritisinya melalui gerakan sosial," tuturnya. 

Di sudut lain tempat itu, seorang perempuan berdiri memandang kerumunan. Ia tak pernah mengenal mereka yang hilang atau terbunuh. Walau begitu, baginya, Kamisan adalah lebih dari sekadar aksi. 

"Ini bukan pertama kali aku ikut aksi, tapi aku merasakan keraguan besar di mata mereka," ucap aktivis bernama Ambar tersebut.

Aksi Kamisan bukan hanya untuk menagih janji, melainkan juga menghidupkan kembali fakta sejarah yang kadang terpinggirkan oleh narasi akal-akalan pemerintah. Mereka tetap berdiri tegak diterpa angin demi menjaga agar ingatan kolektif masyarakat tetap hidup dan tak terlupakan.

Mamik kembali berucap bahwa banyak hal yang perlu diberikan atensi, khususnya kelompok-kelompok kecil yang saat ini masih terus menyuarakan hak mereka. 

Ia juga menyebut bahwa generasi muda harus peduli akan fakta sejarah. Jangan hanya bertindak berdasarkan tren yang barangkali tak lebih dari tipu daya pemerintah. Menurut Mamik, diamnya masyarakat dimanfaatkan sebagai karpet merah untuk impunitas bagi setiap pelaku. 

"Jangan hanya berpikir kalau ini semua bukan tentang kita yang tidak menjadi korban. Kita harus punya kepedulian bahwa keadilan harus diungkapkan, korban harus dibela, pelaku-pelaku penjahat HAM yang berkuasa harus diadili," serunya dengan suara yang semakin kuat, menembus kebisingan di sekeliling kerumunan. 

Mamik Sri Supatmi bergabung dalam Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo Subianto, Kamis (24/10/2024). (Dewiku.com/Humaira Ratu Nugraha)
Mamik Sri Supatmi, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) bergabung dalam Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo Subianto, Kamis (24/10/2024). (Dewiku.com/Humaira Ratu Nugraha)

Ambar pun mengungkapkan, "Di balik rasa lelah, ketidakpastian, atau bahkan keputusasaan, kita punya satu hal yang gabisa pelaku miliki, yaitu rasa kemanusiaan kita. Kita menolak untuk dilupakan, dan kita menolak untuk melupakan."

Perasaan marah dan terharu terus muncul melihat bagaimana para keluarga korban masih berjuang sampai hari ini, 800 kali lebih tegar bersuara demi menuntut keadilan. 

Mereka sadar, suara mereka mungkin hanya terdengar sebagai bisikan di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Meski begitu, bisikan itu cukup kuat untuk terus menggetarkan hati mereka yang bersedia mendengar.

Di tengah ketidakpastian, ada satu hal yang jelas: Aksi Kamisan akan terus berjalan. Minggu demi minggu, tahun demi tahun, tak bakal muncul kata menyerah hingga ada jawaban atas pertanyaan mereka. 

Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo menjadi saksi bahwa perjuangan ini bukan sekadar kenangan, tapi juga sebuah harapan yang akan terus diperjuangkan.

 

Penulis: Humaira Ratu Nugraha

Berita Terkait

Berita Terkini