Ragam
Tuntutan Sempurna Profesi Guru Perempuan, Bisakah Tergapai?
Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga diharapkan menjadi sosok panutan, motivator, dan sekaligus penasehat bagi siswanya.
Vania Rossa

Dewiku.com - Kasus tragis yang menimpa Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, menggambarkan sisi gelap dari tekanan yang dihadapi oleh seorang guru, utamanya guru perempuan.
Supriyani dipenjara setelah tuduhan palsu terkait pemukulan terhadap muridnya, meski tuduhan tersebut dibantah dan didukung oleh saksi. Supriyani tetap menerima hukuman yang merusak reputasi dan kariernya.
Baca Juga
The New Tribeca, Destinasi Makan Malam Akhir Tahun Tak Terlupakan: Menyatukan Urban dan Alam
Fenomena Pink Tax, Mengungkap Pajak Tersembunyi yang Dibayar Perempuan
Petualangan Jati Diri: Mengapa Perempuan Semakin Gemar Solo Traveling di 2025
Ketika AI Dilibatkan dalam Cinta, Bikin Hubungan Jadi Makin Seru atau Terasa Palsu?
Quarter Life Crisis? Festival of Twenties Bantu Anak Muda Hadapi Tantangan Usia 20-an
Tobrut dan Aura Maghrib: Lelucon atau Bentuk Baru Diskriminasi?
Kasus ini mencerminkan betapa mudahnya seorang guru bisa terjerat dalam tuduhan yang tidak berdasar, apalagi dengan ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap kesempurnaan figur guru.
Ya, guru selama ini memang dianggap sebagai salah satu pekerjaan paling mulia. Namun, di balik kemuliaan itu, tersimpan tuntutan yang begitu tinggi. Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga diharapkan menjadi sosok panutan, motivator, dan sekaligus penasehat bagi siswanya. Lantas, seberapa realistiskah tuntutan untuk menjadi seorang guru yang sempurna?
Guru, Lebih dari Sekadar Pengajar
Jika dulu peran guru hanya sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, kini tuntutannya jauh lebih kompleks. Seorang guru tak hanya diharapkan mampu menguasai berbagai bidang agar dapat memberikan pembelajaran yang komprehensif, tetapi juga menjadi panutan bagi siswa dalam hal perilaku, etika, dan nilai-nilai kehidupan.
Bahkan, di zaman now seperti ini, guru juga diharapkan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Masalahnya, di bawah tekanan untuk menjadi figur yang sempurna—baik di dalam kelas maupun dalam kehidupan pribadi mereka, kita tidak selalu memahami bahwa mereka juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.
Riza Amelia, bicara tentang tantangan besar dalam menyeimbangkan profesinya sebagai seorang guru dengan kehidupan pribadi. Sebagai guru, ia berusaha memisahkan masalah pribadi dari dunia kerja, agar tidak mengganggu profesionalisme dalam mengajar.
“Sebagai guru, kita harus tahu kapan saatnya bekerja dengan serius dan kapan saatnya memberi ruang untuk diri sendiri,” ujarnya.
Namun, ekspektasi masyarakat terkadang berlebihan, terutama dalam hal kesempurnaan. Riza menjelaskan bahwa guru, ia sering dituntut serba bisa, tidak hanya dalam mengajar, tetapi juga dalam berbagai bidang lain yang kadang jauh dari tanggung jawab mereka sebagai pendidik.
Ia kemudian melihat bahwa tantangan ini dihadapinya karena gendernya sebagai seorang perempuan. Berbeda dengan guru pria, yang lebih sering dihargai berdasarkan kemampuan mengajarnya saja, guru perempuan kerap diharapkan memiliki kemampuan lebih dalam banyak hal, bahkan di luar ranah pendidikan.
Tuntutan sosial terhadap guru, seperti yang dialami Supriyani dan Riza Amelia, menunjukkan pentingnya pemahaman dan penghargaan terhadap tantangan yang mereka hadapi. Guru bukan hanya sosok yang harus sempurna di mata masyarakat, tetapi juga manusia yang memiliki hak untuk berbuat salah, belajar, dan berkembang.
Pesan Riza kepada masyarakat, ada baiknya untuk tidak memberi ekspektasi yang terlalu tinggi dan memahami realitas kehidupan seorang guru.
"Kesempurnaan dalam mengajar bukanlah hal yang harus dikejar, yang penting adalah mengajar dengan ikhlas, membuat anak-anak mengerti, dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan," pungkas Riza.
(Nurul Lutfia)