Ragam
Banyak Chef Laki-Laki Sukses, Tapi Kenapa Dapur Rumah Tangga Tetap Urusan Perempuan?
Ketika hampir 94% restoran berbintang Michelin dipimpin oleh chef laki-laki, urusan dapur di rumah tangga tetap diidentikkan dengan perempuan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Selama bergenerasi, dapur rumah tangga telah diidentikkan sebagai tempat perempuan. Perempuan—dalam hal ini ibu—bertugas memasak dan menyediakan makanan untuk keluarga. Hal ini dipertegas dengan hasil sebuah studi tahun 2022 di 142 negara, berdasarkan data Gallup World Poll, di mana ditemukan bahwa perempuan lima kali lebih mungkin memasak di rumah daripada laki-laki.
Namun ironis, ketika urusan memasak domestik menjadi urusan perempuan, justru dunia kuliner profesional kian didominasi oleh laki-laki. Melansir dari Forbes, diketahui bahwa hanya 6,04% restoran, berbintang Michelin yang dipimpin oleh perempuan dan hanya 6,73% dari 100 restoran terbaik dunia yang dipimpin oleh koki perempuan.
Baca Juga
Di Balik Tren Fashion: Warna Pastel dan Artinya
NewJeans vs Stereotip Gender dan Kelas Pekerja ala Korea Selatan
Memahami Baby Blues, Gelombang Emosi yang Dialami Ibu Baru Pascamelahirkan
Tuntutan Sempurna Profesi Guru Perempuan, Bisakah Tergapai?
The New Tribeca, Destinasi Makan Malam Akhir Tahun Tak Terlupakan: Menyatukan Urban dan Alam
Fenomena Pink Tax, Mengungkap Pajak Tersembunyi yang Dibayar Perempuan
Ya, anggapan bahwa memasak adalah tugas utama perempuan memang telah tertanam dalam masyarakat selama berabad-abad. Meskipun banyak chef laki-laki yang sukses dan membuktikan bahwa memasak bukanlah monopoli perempuan, namun stigma ini masih sulit dihilangkan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan anggapan ini begitu kuat, di antaranya sejarah peran gender yang sejak zaman dahulu perempuan seringkali ditugaskan mengurus rumah tangga, termasuk memasak. Sementara, laki-laki lebih sering terlibat dalam aktivitas di luar rumah seperti berburu atau bertani. Pembagian peran ini kemudian terus diperkuat melalui sosialisasi sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah, maupun media.
Representasi media juga seolah ikut mendukung stigma ini. Meskipun banyak chef laki-laki yang sukses, media cenderung lebih sering menampilkan perempuan sebagai sosok ibu rumah tangga yang memasak. Lihat saja iklan produk makanan yang seringkali menampilkan perempuan sebagai pengguna utama produk tersebut, memperkuat stereotip bahwa perempuan lebih bertanggung jawab atas urusan dapur.
Hal ini kemudian mau tak mau membuat perempuan seringkali merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat untuk menjadi istri dan ibu yang baik, termasuk mahir memasak. Pun meski perempuan tersebut adalah seorang pekerja di luar rumah, beban memasak masih ada di pundaknya sepulang bekerja.
Fakta bahwa memasak adalah keterampilan hidup yang berguna bagi semua orang, tidak hanya perempuan, membuat memasak seharusnya menjadi tanggung jawab bersama dalam keluarga.
Lalu, bagaimana cara mengubah anggapan ini? Bisa dimulai dari pembiasaan, di mana sejak usia dini, anak-anak perlu diajarkan bahwa memasak adalah keterampilan yang dapat dikuasai oleh siapa saja. Pun di rumah, orang tua perlu memberikan contoh yang baik dengan membagi tugas rumah tangga secara adil. Tak hanya dalam hal memasak, tetapi juga pekerjaan rumah tangga lainnya. Setuju?