Ragam
Fenomena Pick Me Girl dan Bahaya Stigma 'Cewek Pikmi' yang Tersembunyi
Fenomena ini bukan sekadar tren viral, melainkan refleksi dari tantangan sosial yang dihadapi perempuan dalam memenuhi ekspektasi masyarakat.
Risna Halidi

Dewiku.com - "Aku tuh nggak kayak cewek-cewek lainnya."
Kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi di jagat media sosial, frasa ini dianggap sebagai simbol persaingan yang tak sehat sesama perempuan.
Baca Juga
Memahami Needy, Ketika Kita Menjadi Ketergantungan dalam Cinta
Wabah Flu di China Meluas, Haruskah Dunia Bersiap Pandemi Lagi?
Good Girl Syndrome: Beban Tak Terlihat di Balik Citra Sempurna
Jadikan Tahun Baru Awal Baru: Begini Merancang Resolusi yang Lebih Bermakna
Friendship Breakup, Kenapa Kehilangan Sahabat Lebih Menyakitkan daripada Putus Cinta?
Fenomena Breakup Hair Cut: Perempuan Tak Bercerita, Tapi Potong Rambut Pas Putus Cinta
Pick Me Girl didefinisikan sebagai seorang perempuan yang berusaha keras menarik perhatian lawan jenis dengan menonjolkan dirinya sebagai sosok yang "berbeda dari perempuan lainnya."
Keinginan ini sering kali membuat mereka, tanpa disadari, rela melakukan berbagai cara untuk mempertahankan posisi tersebut.
Istilah ini menjadi populer di platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, dengan berbagai konten yang menampilkan parodi atau sindiran terhadap perilaku Pick Me Girl.
Misalnya, perempuan yang mengklaim bahwa mereka tidak suka berdandan karena “terlalu natural” atau lebih memilih berteman dengan laki-laki karena perempuan lain “terlalu drama.”
Namun, di balik konten humor tersebut, fenomena ini memunculkan dampak serius. Banyak yang mengkritik bahwa label Pick Me Girl sering kali disematkan secara berlebihan, hingga berisiko mempermalukan perempuan yang sebenarnya hanya mengekspresikan kepribadian mereka.
Mengapa Fenomena Ini Bermasalah?
Fenomena Pick Me Girl memperkuat stereotip bahwa perempuan harus bersaing satu sama lain demi perhatian laki-laki, alih-alih saling mendukung. Ini mencerminkan tekanan sosial yang membuat perempuan merasa perlu membedakan diri dari yang lain agar dianggap istimewa.

Selain itu, tren ini juga memperkuat gagasan misogini, yang mana perempuan secara tidak langsung merendahkan sesamanya untuk menyesuaikan diri dengan standar patriarki.
Menurut Amy Rosenbluth, aktvis perempuan lulusan Ilmu Politik dan Pembangunan Internasional dari McGill University, fenomena Pick Me Girl ini dapat muncul karena adanya "misogini yang terinternalisasi dan keinginan untuk menjauhkan diri dari stereotip perempuan tradisional yang sering kali dianggap negatif."
Internalisasi misogini sendiri, pada dasarnya, mengacu pada bagaimana perempuan juga dapat menyerap pandangan seksis dan menunjukkan perilaku yang merendahkan sesama perempuan.
"Sebagian besar dari kita mungkin pernah menunjukkan perilaku ini setidaknya sekali dalam hidup, terutama karena dorongan untuk terlihat unik dan berbeda dari orang lain," ungkapnya dilansir Dewiku dari laman The McGill International Review, ditulis Jumat (3/1/2025).
Hal ini dapat dilihat melalui trend yang membahas hal-hal yang identik dengan perempuan, seperti make-up atau fashion, sebagai sesuatu yang kurang bernilai dibandingkan hobi atau aktivitas yang lebih maskulin.
Dampak pada Media Sosial dan Kehidupan Nyata
Meski dimulai dari parodi, tren ini berdampak nyata pada cara perempuan melihat diri mereka sendiri dan satu sama lain. Alih-alih mengatasi tekanan sosial, fenomena ini justru memperkuat narasi bahwa nilai seorang perempuan dapat diukur dari bagaimana mereka dipandang oleh laki-laki.
Tak hanya itu, tren ini juga menunjukkan betapa media sosial memiliki peran besar dalam membentuk opini publik, baik secara positif maupun negatif. Fenomena ini bukan sekadar tren viral, melainkan refleksi dari tantangan sosial yang dihadapi perempuan dalam memenuhi ekspektasi masyarakat.
Oleh karena itu penting untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan mendukung, di mana perempuan tidak merasa perlu bersaing atau membandingkan diri satu sama lain. Karena sejatinya nilai seseorang tidak ditentukan oleh validasi orang lain, melainkan oleh rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha