Ragam
Vonis Bebas Septia jadi Bukti Waktunya Hentikan Kriminalisasi Pekerja!
"Pemecatan dan pemotongan gaji itu membuat mantan-mantan buruh sangat trauma. Hal itu sangat menyakitkan bagi kami," tegas Septia.
Risna Halidi
![Ilustrasi hukum (Dok. Pexels)](https://media.dewiku.com/thumbs/2025/01/23/38499-ilustrasi-hukum/745x489-img-38499-ilustrasi-hukum.jpg)
Dewiku.com - Septia Dwi Pertiwi, seorang buruh perempuan yang dikriminalisasi oleh mantan bosnya, divonis bebas dalam kasus pencemaran nama baik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Hakim membebaskan Septia dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Menyatakan Terdakwa Septia Dwi Pertiwi tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwa dalam dakwaan alternatif pertama primer, dakwaan alternatif pertama subsider, dan dakwaan alternatif kedua Jaksa Penuntut Umum," kata Ketua Majelis Hakim Saptono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/1), dilansir dari Suara.com.
Baca Juga
Indonesia Darurat Kekerasan Anak, Tanda Pemerintah Gagal Melindungi Generasi Muda?
Barista Tunarungu Surabaya Pecahkan Stigma, Bukti Kesetaraan Ada di Setiap Cangkir Kopi
Soal Kampus Boleh Kelola Tambang, Demi Inovasi atau Cuan?
Heboh Lavender Marriage: Alasan Orang Memilih Menjalani Pernikahan Ini
Hoe Phase: Kebebasan atau Perangkap Standar Ganda?
Retail Therapy: Obat Mujarab untuk Hati yang Sedih atau Jebakan Konsumtif?
Keputusan ini disambut penuh haru dan kegembiraan oleh berbagai pihak, terutama aktivis buruh dan pegiat hak asasi manusia yang sejak awal mengawal kasus Septia.
Mereka menilai putusan ini sebagai kemenangan bagi kebebasan berpendapat dan hak-hak pekerja yang selama ini kerap terpinggirkan.
Kasus ini bermula ketika Septia mengungkapkan ketidakadilan yang dialaminya di tempat kerja melalui media sosial.
Dalam unggahannya, ia menyampaikan dugaan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan milik John LBF. Seperti upah di bawah UMR dan jaminan sosial yang tidak di bayarkan selama dia bekerja.
Namun, alih-alih mendapatkan penyelesaian yang adil, ia justru dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik oleh John LBF.
Ia dijerat oleh beberapa oleh Pasal UU ITE yaitu Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 jo.
Tak hanya itu, Septia juga dijerat dengan Pasal 51 ayat (2), dan/atau Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP.
"Walaupun terdapat ruangan atasan yang bisa digunakan untuk menutupi amarah itu, nyatanya ruangan terbuka kubikel kantor buruh bekerja terkesan lebih nyaman digunakan untuk meluapkan amarah atasan kepada buruhnya," kesaksian Septia saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, dilansir dari Suara.com.
Selama bekerja, Septia dan rekan-rekan sesama karyawan sering mengalami pemecatan mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Situasi ini membuatnya selalu bersiap menghadapi kemungkinan dipecat setiap hari.
Selain itu, ia juga harus mempersiapkan mental untuk menghadapi pemotongan gaji yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas.
"Bahkan akibat kesalahan orang lain pun saya terkena dapat pemotongan gaji. Hal tersebut membuat saya merasa tidak akan pernah terhindar dari pemotongan gaji," ungkap Septia.
Ia menekankan bahwa pemecatan dan pemotongan gaji yang dilakukan secara mendadak oleh perusahaan telah meninggalkan dampak psikologis bagi banyak mantan karyawan.
"Pemecatan dan pemotongan gaji itu membuat mantan-mantan buruh sangat trauma. Hal itu sangat menyakitkan bagi kami," tegasnya.
Proses hukum yang dijalaninya tidak mudah. Septia harus menghadapi tekanan serta risiko besar akibat keberaniannya bersuara.
Putusan bebas bagi Septia seharusnya menjadi pengingat bahwa memperjuangkan hak bukanlah sebuah kejahatan.
Kriminalisasi terhadap buruh yang berani bersuara menunjukkan bagaimana hukum kerap kali lebih tajam ke bawah, sementara pelanggaran hak ketenagakerjaan terus berulang tanpa konsekuensi yang jelas bagi pelakunya.
Namun, tanpa perubahan sistem yang lebih berpihak pada pekerja, kasus serupa akan terus terulang, dan keadilan bagi buruh hanya akan menjadi janji kosong yang sulit diwujudkan.
Kemenangan Septia dalam persidangan ini bukanlah akhir dari perjuangan.
Kasusnya menjadi simbol perlawanan terhadap kriminalisasi pekerja dan dorongan untuk terus memperjuangkan kebebasan berpendapat serta hak-hak buruh di Indonesia.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha