Ragam

RUU PPRT: Lebih dari Dua Dekade, Masih Menjadi Jargon Politik Tanpa Aksi Nyata

Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah lebih dari dua dekade seharusnya menjadi refleksi serius tentang ketidakadilan struktural yang terus dialami oleh pekerja rumah tangga di Indonesia.

Vania Rossa

Ilustrasi pekerja rumah tangga. (Freepik)
Ilustrasi pekerja rumah tangga. (Freepik)

Dewiku.com - Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah lebih dari dua dekade seharusnya menjadi refleksi serius tentang ketidakadilan struktural yang terus dialami oleh pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia.

Kehadiran RUU PPRT dalam Prolegnas Prioritas di 2025 memang seharusnya disambut dengan harapan.
Namun, di balik keputusan ini, muncul pertanyaan besar, mengapa dibutuhkan waktu lebih dari dua dekade untuk mengakui pentingnya perlindungan bagi PRT yang mayoritas adalah perempuan?

Aima, seorang aktivis perempuan dari kawanpuan yang telah lama terlibat dalam perjuangan hak-hak pekerja rumah tangga, menyuarakan rasa frustrasinya.

"Ya gitu terus, berkali-kali keluar masuk prolegnas, tapi kenyataannya belum disahkan sampai sekarang," katanya.

Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2004, RUU PPRT selalu menjadi “komoditas” dalam pembahasan politik yang belum diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang konkret.

Aima juga menyoroti kondisi tragis yang dialami oleh pekerja rumah tangga di lapangan. Mereka menghadapi diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi tanpa adanya perlindungan hukum yang jelas.

Tanpa kontrak formal dan dengan gaji yang tidak pasti, pekerja rumah tangga tidak memperoleh hak-hak dasar yang seharusnya mereka dapatkan.

Tak hanya itu, Aima juga menegaskan bahwa banyak dari mereka yang menjadi korban kekerasan fisik dan seksual. Namun, karena status mereka yang tidak diakui secara hukum, mereka tidak memiliki saluran untuk mendapatkan keadilan.

“Meraka sangat rentan menjadi korban kekerasan fisik dan seksual di tangan majikan mereka, tapi karena status mereka yang tidak diakui secara hukum, mereka enggak punya saluran untuk mencari keadilan,” ujarnya dengan tegas.

Ironisnya, meski data dan fakta yang ada menunjukkan urgensi perlindungan ini, pengesahan RUU PPRT seolah-olah hanya menjadi perkara formalitas yang terus ditunda tanpa alasan yang jelas.

Menurutnya, ketidakseriusan dalam pengesahan RUU ini mencerminkan kegagalan negara untuk memprioritaskan perlindungan terhadap sektor yang paling rentan.

“Kita sudah melihat bagaimana pekerja rumah tangga, yang mayoritas perempuan, sering diperlakukan sebagai warga kelas dua, tanpa hak dasar yang seharusnya mereka miliki. Mereka berhak mendapatkan perlindungan hukum yang setara dengan pekerja lainnya,” ujarnya dengan tegas.

Lebih lanjut, Aima menegaskan bahwa keberadaan RUU PPRT dalam Prolegnas Prioritas 2025 seharusnya menjadi momentum penting untuk tidak hanya memberikan pengakuan hukum bagi pekerja rumah tangga, tetapi juga untuk menciptakan kesetaraan gender yang lebih nyata di masyarakat.

"Ini bukan hanya tentang hak pekerja rumah tangga, tapi juga tentang menghentikan praktik-praktik diskriminatif yang terus berlangsung," ujarnya.

Perjalanan panjang RUU PPRT ini adalah pengingat keras bahwa di balik kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia, masih ada jutaan nasib perempuan yang terabaikan.

Kini, dengan RUU PPRT yang kembali masuk Prolegnas Prioritas 2025, tidak ada lagi ruang untuk penundaan.

Pemerintah harus segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang yang benar-benar melindungi pekerja rumah tangga.

(Humaira Ratu)

Berita Terkait

Berita Terkini