Ragam
Di Balik Layar yang Bias: Realita Pahit Jurnalis Perempuan dalam Pusaran Media Online
Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap jurnalis perempuan masih kerap terjadi di berbagai belahan dunia.
Vania Rossa
![Ria Rizky, Jurnalis Suara.com (dok. pribadi)](https://media.dewiku.com/thumbs/2025/02/14/75924-ria-rizky-jurnalis-suaracom/745x489-img-75924-ria-rizky-jurnalis-suaracom.jpg)
Dewiku.com - Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap jurnalis perempuan masih kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari mereka menghadapi pelecehan, intimidasi, bahkan ancaman fisik ketika menjalankan tugas jurnalistiknya.
Misalnya, jurnalis perempuan sering menjadi sasaran serangan daring dengan komentar seksis dan ancaman kekerasan yang bertujuan untuk membungkam suara mereka.
Baca Juga
Nggak Cuma Dinner Romantis, 7 Film Ini Juga Cocok untuk Menemani Hari Valentine Kamu
Era Digital, Era Kompetisi: 6 Karakter yang Harus Dimiliki Anak Muda agar Sukses
Jangan Lupa Bahagia: Rayakan Valentine dengan Cintai Diri Sendiri
Ide Merayakan Valentine Bersama Orang Terkasih, Dinner Romantis Bisa Jadi Pilihan
Tagar #KaburAjaDulu, Ketika Anak Muda Angkat Tangan pada Realita
Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
Selain itu, dalam peliputan di lapangan, tidak sedikit yang mengalami pelecehan verbal atau bahkan fisik dari narasumber maupun lingkungan sekitar.
Di tengah kondisi ini, jurnalis perempuan tetap berjuang untuk menjalankan profesinya dengan profesionalisme. Ria Rizky, jurnalis Suara.com, berbagi pengalaman dan pandangannya mengenai perjuangan perempuan di dunia jurnalistik dalam live Instagram bersama Dewiku, Senin (10/02) kemarin.
“Ketika kita bekerja secara profesional, sering kali kita justru dianggap remeh hanya karena kita perempuan. Seolah-olah perempuan itu lemah dan tidak kompeten dalam bidang ini,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti perbedaan perlakuan yang diterima jurnalis perempuan dibandingkan rekan laki-laki mereka.
“Kadang, respons dari narasumber cenderung kurang serius, bahkan ada yang melecehkan secara verbal atau menjadikan kita bahan candaan. Sementara itu, jika pertanyaan yang sama diajukan oleh jurnalis laki-laki, respons yang diberikan jauh lebih serius dan profesional,” jelasnya.
Di tengah maraknya media online dan ketatnya persaingan, Ria tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalistik.
“Sebagai media online, kami tetap menerapkan akurasi dalam menyampaikan informasi. Saat ini, banyak media yang tiba-tiba muncul dan viral tanpa melalui proses verifikasi yang benar. Sementara kami di Suara.com tetap menjunjung tinggi keakuratan berita dan kredibilitas,” tegasnya.
Berbicara mengenai perjalanan kariernya, Ria mengungkapkan bahwa menjadi jurnalis adalah cita-citanya sejak kecil.
“Dari kecil, aku memang ingin menjadi jurnalis, meskipun awalnya aku sendiri tidak tahu alasan pastinya. Namun, semakin lama, aku semakin yakin bahwa dunia jurnalistik adalah panggilan jiwaku,” kata Ria.
Kini, sebagai salah satu wajah Suara.com, ia harus beradaptasi dengan tuntutan tampil di depan kamera.
“Saat bekerja di balik layar, kita hanya fokus mengumpulkan informasi. Namun, ketika harus tampil di depan kamera, ada tantangan lain, yaitu bagaimana membangun kepercayaan diri dan menghadirkan pengalaman yang menarik bagi audiens,” ujarnya.
Bagi mereka yang bercita-cita menjadi jurnalis, Ria memberikan pesan penting, bahwa hal pertama yang harus dipersiapkan adalah mental yang kuat. Bekerja di industri media berbeda dengan pekerjaan kantoran biasa. Setiap hari selalu ada kejadian baru yang menuntut respons cepat dan kesiapan penuh.
"Jurnalis tidak bisa bekerja hanya dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Selalu ada berita mendadak yang harus diliput, bahkan di luar jam kerja. Oleh karena itu, komitmen waktu sangat diperlukan dalam profesi ini,” tambahnya.
Lebih dari sekadar pekerjaan, Ria menekankan bahwa menjadi jurnalis adalah panggilan hati.
“Jika hanya mencari uang, mungkin akan sulit menemukan kepuasan dalam profesi ini. Namun, jika memiliki passion dan tekad kuat, dunia jurnalistik bisa menjadi tempat yang sangat bermakna untuk berkembang,” tutupnya.
(Nurul Lutfia)