Ragam
Gangguan Sensorik Ternyata Bikin Anak Sulit Beradaptasi Hingga Rentan Di-Bully
Bukan karena lemah, anak yang mudah depresi saat dirundung ternyata bisa karena ia mengalami gangguan sensorik yang tak disadari.
Vania Rossa
![Ilustrasi anak dengan gangguan sensorik. (Unsplash/Patrick Fore)](https://media.dewiku.com/thumbs/2024/10/15/75931-ilustrasi-anak-makan-camilan-unsplashpatrick-fore/745x489-img-75931-ilustrasi-anak-makan-camilan-unsplashpatrick-fore.jpg)
Dewiku.com - Banyak orang tua menganggap bahwa stimulasi dan pemeriksaan sensorik hanya diperlukan untuk anak usia lima tahun ke bawah.
Padahal, menurut Anastasia Satrio, psikolog anak, permasalahan sensorik dapat berdampak hingga masa remaja dan mempengaruhi aspek emosional serta adaptasi sosial mereka.
Baca Juga
Di Balik Layar yang Bias: Realita Pahit Jurnalis Perempuan dalam Pusaran Media Online
Nggak Cuma Dinner Romantis, 7 Film Ini Juga Cocok untuk Menemani Hari Valentine Kamu
Era Digital, Era Kompetisi: 6 Karakter yang Harus Dimiliki Anak Muda agar Sukses
Jangan Lupa Bahagia: Rayakan Valentine dengan Cintai Diri Sendiri
Ide Merayakan Valentine Bersama Orang Terkasih, Dinner Romantis Bisa Jadi Pilihan
Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
"Kadang, orang tua baru sadar soal stimulasi sensorik saat anak masih kecil. Padahal, ketika mereka beranjak usia 10-12 tahun, isu-isu sensorik ini masih bisa berdampak, terutama dalam hal emosi dan adaptasi sosial," ujar psikolog klinis yang fokus pada anak dan remaja ini.
Salah satu indikasi gangguan sensorik adalah kesulitan menerima berbagai tekstur makanan. Anak-anak dengan kondisi ini cenderung memiliki tantangan dalam menerima masukan dari orang lain.
Menurut Anastasia, cara menanganinya bukan dengan "memaksakan" anak untuk menerima kritik atau masukan, melainkan dengan terlebih dahulu memperbaiki aspek sensoriknya.
"Area otak yang memproses tekstur sensorik itu sama dengan area otak yang berfungsi dalam menerima input atau feedback dari orang lain," jelasnya saat ditemui di Gentem Center di Neo Soho Mall, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Dampak Gangguan Sensorik dalam Kehidupan Sosial
Dalam beberapa kasus, gangguan sensorik bahkan dapat berujung pada masalah yang lebih serius, seperti depresi.
Anastasia mencontohkan seorang remaja yang ia tangani, seorang siswa kelas 2 SMA yang mengalami depresi berat. Setelah ditelusuri, ternyata kondisi depresinya sudah berlangsung sejak SMP kelas 2.
"Saya bilang ke anak itu, ‘Kamu hebat banget bisa bertahan hidup sampai sekarang.’ Ternyata yang membuatnya sulit bukan pelajaran sekolah, karena IQ-nya baik, tapi ada masalah sensorik yang tidak disadari," ungkap Anastasia.
Saat menggali lebih dalam, ia bertanya kepada sang ibu apakah anak tersebut memiliki kesulitan dengan tekstur makanan. Jawaban ibunya cukup mengejutkan—anaknya ternyata tidak bisa menginjak pasir sejak kecil.
"Ibunya bilang, ‘Oh, dia selalu pakai sepatu kalau ke pantai.’ Padahal kita tinggal di negara tropis, sering ke pantai seperti ke Bali atau Ancol. Tapi ibunya tidak merasa ada yang salah dengan itu," tuturnya.
Menurut Anastasia, kemampuan otak dalam memproses tekstur seperti pasir berhubungan erat dengan kemampuan anak dalam beradaptasi secara sosial.
"Anak lain mungkin bisa menghadapi perundungan (bullying) dan tetap bertahan, tapi anak dengan gangguan sensorik bisa sampai tidak bisa sekolah atau bahkan berpikir ingin mengakhiri hidupnya. Ini bukan sekadar masalah kurang iman, tetapi masalah sensorik yang harus ditangani," tegasnya.
Pendekatan dalam Menangani Isu Sensorik
Untuk menangani permasalahan ini, Anastasia menggunakan konsep Pyramid of Learning, di mana perbaikan sensorik menjadi langkah awal dalam membantu anak.
"Kalau anak usia 10 tahun ke atas, tentu bukan lagi terapi sensory integration seperti pada anak kecil. Biasanya, kita mencari aktivitas olahraga yang cocok atau melibatkan pelatih yang paham tentang isu sensorik," jelasnya.
Sebagai contoh, ia menangani beberapa anak yang mengalami pandemi di usia 10 tahun dan kini berusia 12 tahun. Banyak dari mereka mengalami kesulitan melakukan aktivitas sederhana seperti keramas.
"Bukan karena mereka tidak tahu cara keramas, tetapi karena otot-otot dan sistem sensoriknya bingung dalam merespons aktivitas itu. Oleh karena itu, kita bantu mereka mengembangkan sensitivitas sensoriknya secara bertahap," katanya.
Pendekatan yang tepat dalam menangani masalah sensorik dapat membantu anak berkembang secara optimal, baik dalam aspek fisik maupun sosial.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih memahami dan mendukung anak dalam menghadapi tantangan sensorik mereka, tidak hanya di usia dini tetapi juga hingga remaja.
(Nurul Lutfia)