Ragam
Dilema Suami dalam Poligami: Perasaan Bersalah yang Tak Berujung
Faktanya, tidak semua suami yang menjalani poligami benar-benar merasakan kebahagiaan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Poligami sering kali dianggap sebagai solusi bagi sebagian pria untuk memenuhi kebutuhan emosional, sosial, atau bahkan spiritual mereka.
Bahkan di Indonesia, ada celah bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk melakukan poligami dengan syarat dan izin tertentu.
Baca Juga
1001 Nights of Ramadan Sedayu, Tawarkan Menu Iftar dari Berbagai Negara
Lipstick Effect: Fenomena Aneh yang Bikin Orang Tetap Belanja di Tengah Krisis
Mengenal Sosok Sherly Tjoanda: Minta Doa Restu dari Mendiang Suami Sebelum Dilantik Jadi Gubernur Maluku Utara
Mengenal Fafo Parenting, Gaya Pengasuhan yang Lagi Viral: Apa Kata Ahli?
Adakah Dampak Cancel Culture dalam Tragedi Kematian Kim Sae Ron?
Love Scam Gara-Gara AI, Semakin Sulit Membedakan Antara Cinta yang Tulus dan Penipuan
Namun, di balik praktik ini, terdapat sisi lain yang jarang dibicarakan, yaitu perasaan bersalah, konflik batin, dan dilema yang harus dihadapi seorang suami dalam rumah tangga poligami.
Dr. Ida Rosyiah, MA, seorang sosiolog, mengungkapkan bahwa tidak semua suami yang menjalani poligami benar-benar merasakan kebahagiaan.
Dalam penelitiannya, ia menemukan banyak kasus di mana suami justru mengalami tekanan psikologis akibat harus membagi perasaan dan tanggung jawab antara lebih dari satu istri.
Perasaan Bersalah yang Tak Pernah Hilang
Ida menceritakan kisah seorang suami yang telah lama berpoligami dan merasakan dilema emosional setiap hari.
"Kalau saya sedang bersama istri pertama, saya merasa bersalah kepada istri kedua. Begitu juga sebaliknya. Setiap malam saya harus memilih di kamar siapa saya tidur, dan itu bukan keputusan yang mudah," ujar sang suami kepada Ida.
Karena tekanan batin tersebut, sang suami akhirnya memilih untuk tidur di kamar terpisah.
"Saya buat kamar sendiri di belakang rumah. Sudah tiga bulan ini saya tidak tidur di kamar istri pertama atau istri kedua. Setiap kali saya mencoba, saya selalu merasa bersalah dan tidak tenang," lanjutnya.
Menurut Ida, fenomena ini menunjukkan bahwa poligami tidak hanya berdampak pada istri dan anak-anak, tetapi juga secara psikologis memengaruhi suami.
"Ada asumsi bahwa suami dalam poligami selalu berkuasa dan mendapatkan keuntungan lebih. Padahal, banyak di antara mereka yang justru terjebak dalam perasaan bersalah dan ketidaktenangan batin," jelas Ida.
Keadilan yang Sulit Dicapai
Banyak suami dalam rumah tangga poligami berusaha membagi perhatian dan materi secara adil. Seorang pria dalam penelitian Ida menceritakan bahwa ia selalu memastikan jumlah uang yang diberikan kepada istri pertama dan kedua sama besar.
"Saya kasih pegangan sejuta buat istri pertama, sejuta juga buat istri kedua. Kalau ada keperluan lain, saya selalu usahakan jumlahnya sama. Saya ingin berlaku adil," katanya.
Namun, meskipun adil secara materi, ia menyadari bahwa itu tidak cukup untuk menghindari kecemburuan.
"Istri kedua saya nggak pernah benar-benar merasa bahagia. Setiap kali saya ada di kamar istri pertama, dia pasti sakit hati. Padahal dia tahu kondisinya seperti ini sejak awal," ujar pria tersebut kepada Ida.
Dr. Ida menjelaskan bahwa keadilan dalam poligami tidak bisa diukur hanya dari aspek finansial.
"Ketimpangan emosi dan perasaan sangat sulit dihindari. Tidak semua orang mampu menerima kenyataan bahwa kasih sayang pasangan mereka harus dibagi," kata Ida.
Menurut Ida, kondisi ini menjadi bukti bahwa poligami bukan hanya ujian bagi istri, tetapi juga bagi suami.
"Banyak suami yang akhirnya merasa terbebani dengan situasi ini. Mereka harus menghadapi konflik batin, kecemburuan antar-istri, dan tekanan sosial dari lingkungan," pungkasnya.
(Nurul Lutfia)