Ragam

Seperti Menggenggam Angin, Pendidikan Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum yang Sulit Dicapai

Pendidikan, terutama untuk anak yang terjerat kasus hukum, seharusnya menjadi jembatan bagi masa depan mereka, bukan tembok yang semakin mempersempit jalan untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Risna Halidi

Ilustrasi Anak Berhadapan Hukum (Dewiku)
Ilustrasi Anak Berhadapan Hukum (Dewiku)

Dewiku.com - Dulu, nama Rama—bukan nama sebenarnya—selalu disambut dengan kagum di sekolah. Setiap upacara bendera, langkahnya di barisan Paskibra tegap dan penuh kebanggaan, mencerminkan sosoknya yang penuh wibawa. 

Rama dikagumi banyak orang.  Ia bukan sekadar siswa biasa—ia populer, disegani, seolah memiliki masa depan yang cerah di hadapannya.

Rama tak pernah membayangkan bahwa hasrat cinta remaja akan membawanya ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Ia divonis lima tahun oleh Pengadilan Anak atas dakwaan persetubuhan anak di bawah umur. 

"Saya pertama kali pacaran dan melakukan hubungan seksual sama dia," ucapnya pelan, suaranya bergetar.

Rama menarik nafas dalam sebelum melanjutkan ceritanya. Ada penyesalan di mata bocah berusia 15 tahun tersebut.

Ada juga kebingungan—seolah ia masih mencoba memahami bagaimana hidupnya bisa berubah begitu drastis dalam waktu singkat.

"Saya dulu merasa percaya diri, bahkan mungkin terlalu percaya diri," katanya lirih. 

"Saya pikir, kalau saya populer, semua orang akan suka sama saya. Tapi ternyata nggak begitu," ujarnya pelan pada Dewiku, di Aula LPKA Kelas II Jakarta (24/01).

Ketika video pribadinya bersama pacarnya tersebar, Rama tidak tahu harus berbuat apa. Dunianya yang dulu terasa penuh sorak-sorai dan pujian mendadak berubah menjadi lautan hujatan.

"Aku nggak tahu siapa yang pertama kali menyebarkan, tiba-tiba saja semuanya tahu," suaranya nyaris tak terdengar.

Rama Soal Mimpi dan Sekolah Baru Sistem Pendidikan yang Tidak Ramah bagi Anak Berhadapan dengan Hukum 

Sebelum peristiwa yang membawanya ke LPKA, Rama telah merancang masa depannya dengan penuh harapan dan ambisi. Ia bercita-cita menjadi atlet panco dan bodybuilder profesional, impian yang ia bangun dengan kerja keras. 

Rajin berlatih dan aktif di berbagai organisasi, ia telah menyiapkan jalannya untuk bergabung dengan Persatuan Olahraga Panco Indonesia (POGTI) serta dunia binaraga. 

"Saya dulu sering ikut lomba dan aktif di Paskibra, udah punya rencana masuk POGTI dan ingin jadi bodybuilder," ujar Rama dengan nada lirih.

Namun, di tengah keterbatasan yang ada, Rama berusaha mencari cara untuk tetap belajar. Ia sadar, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki masa depannya adalah dengan belajar. 

Kebiasaan membaca membuatnya dipercaya menjadi duta perpustakaan di LPKA. Setiap harinya, bocah berkacamata ini membantu mengelola buku, merapikan rak, serta mengajak teman-teman sesama Anak Binaan untuk ikut membaca. 

"Di sini nggak banyak hiburan, jadi saya menghabiskan waktu dengan baca buku," tutur Rama lagi. 

Pendidikan bagi Rama merupakan satu-satunya jalan untuk tetap berharap dan membangun kembali masa depannya. Namun, kenyataannya, hak pendidikan yang dijanjikan dalam berbagai regulasi sering kali hanya sebatas retorika tanpa implementasi nyata. 

Rama merupakan salah satu Anak Binaan di LPKA Kelas II Jakarta yang berusaha memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk belajar. Namun menurutnya, implementasi pendidikan di LPKA masih jauh dari ideal.

Ilustrasi Anak Berhadapan Hukum (Dewiku)
Ilustrasi Anak Berhadapan Hukum (Dewiku)

"Sistem belajar di sini membosankan. Masuk kelas, kita cuma disuruh merangkum saja. Enggak ada diskusi atau kegiatan lain yang bikin belajar jadi lebih menarik," ungkapnya.

Alih-alih mendapatkan akses pendidikan yang layak, Anak Binaan justru dihadapkan pada berbagai hambatan, seperti birokrasi administratif yang rumit, stigma sosial, serta fasilitas pendidikan yang tidak memadai.

Sistem pendidikan di LPKA Kelas II Jakarta, misalnya, masih jauh di panggang api. 

Padahal, secara hukum, hak pendidikan bagi ABH telah dijamin dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Pasal 22 dengan tegas menyatakan bahwa setiap anak yang ditahan tetap berhak mendapatkan pendidikan. 

Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, laporan Kepala LPKA Triwulan 3 Tahun 2024, terdapat 1.440 ABH yang ditempatkan di LPKA. Dari jumlah tersebut, hanya 799 anak yang mendapatkan pendidikan, baik formal maupun nonformal, sementara 641 anak lainnya belum mendapatkan hak pendidikan sebagaimana mestinya. 

Ketimpangan akses pendidikan bagi ABH ini menimbulkan pertanyaan besar,  jika regulasi telah menjamin hak pendidikan bagi mereka, mengapa masih ada ratusan anak yang tidak mendapatkan hak tersebut? 

Salah satu faktor utama yang menghambat pendidikan bagi ABH seperti Rama adalah: kesulitan dalam mencatat anak-anak di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sistem administrasi pendidikan nasional yang menjadi syarat utama bagi siswa untuk mendapatkan akses pendidikan formal.

Kepala LPKA Kelas II Jakarta, Ahmad Sobirin, menyoroti bahwa banyak Anak Binaan yang sebelumnya putus sekolah, tidak memiliki nilai dan menghadapi kendala administratif dari sekolah asalnya.

"Salah satu masalah yang dihadapi adalah kesulitan dalam mencatat anak-anak di Dapodik. Banyak dari mereka yang terkendala administrasi dari sekolah asalnya. Ini membuat mereka sulit mendapatkan akses pendidikan formal," jelas Ahmad Sobirin pada Selasa (4/2). 

Permasalahan ini semakin rumit karena pencatatan di Dapodik tidak hanya bergantung pada LPKA, tetapi juga memerlukan kelengkapan data, mulai dari dokumen kependudukan seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) hingga penerbitan data dan kode identitas anak. 

Hal ini memastikan bahwa anak tersebut resmi terdaftar sebagai pelajar dalam sistem pendidikan nasional.

Kendala juga muncul karena beragamnya latar belakang anak-anak yang berada di LPKA. Beberapa di antara mereka tidak memiliki keluarga atau saudara, sehingga mereka tidak memiliki dokumen dasar seperti KK, yang merupakan syarat utama dalam sistem Dapodik.

Sebab hal itu, banyak anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan formal karena mereka telah dikeluarkan dari sekolah asalnya. 

Di tengah keterbatasan akses ke pendidikan formal, LPKA Kelas II Jakarta tetap menyediakan pendidikan nonformal melalui kerjasama dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) melalui program kejar paket (A, B, dan C) Hasanah sejak tahun 2021 lalu. 

Program ini menjadi solusi bagi Anak Binaan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan formal akibat berbagai kendala administratif, seperti status mereka yang tidak terdaftar dalam Dapodik atau dikeluarkan dari sekolah asalnya.

Kepala Seksi Pembinaan LPKA Kelas II Jakarta, Rustiwakti menjelaskan bahwa anak-anak tersebut tetap diikutsertakan dalam kegiatan belajar di PKBM. Meskipun mereka tidak mendapatkan ijazah, mereka tetap menerima surat keterangan dari PKBM dan LPKA sebagai bukti telah mengikuti pembelajaran.

"Tapi anak-anak itu tetap kita ikutkan belajar PKBM Hasanah. Walaupun nanti hasilnya tidak mendapat ijazah, hanya mendapatkan surat keterangan dari PKBM dan LPKA," tambahnya. 

Meskipun program pendidikan ini telah berjalan, kualitas dan efektivitas pembelajaran masih menjadi tantangan besar. Salah satu kendala utama yang dihadapi adalah minimnya tenaga pengajar yang memiliki latar belakang pendidikan formal. 

Ahmad Sobirin mengungkapkan, mayoritas tenaga kerja di LPKA masuk menggunakan ijazah lulusan SMA yang awalnya bertugas dalam bidang keamanan. Namun, karena kebutuhan organisasi, mereka akhirnya ditempatkan di berbagai bagian lain, termasuk registrasi, pengamanan, dan pembinaan, termasuk dalam bidang pendidikan.

"Tenaga kerja di LPKA sebagian besar merupakan lulusan SMA, yang awalnya direkrut hanya sebagai penjaga tahanan. Namun, karena kebutuhan organisasi, mereka akhirnya ditempatkan di berbagai bagian, seperti registrasi, pengamanan, pembinaan, dan lain-lain," ujar Sobirin. 

Cinta di toko buku. (Unsplash/Jamie Taylor)
Ilustrasi pendidikan. (Unsplash/Jamie Taylor)

Retno Listyarti, praktisi pendidikan yang menjabat sebagai Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menyoroti bahwa pendidikan di LPKA tidak dapat disamakan dengan pendidikan kesetaraan di luar lingkungan pemasyarakatan. 

"Kalau kita berbicara kualitas, tentu tidak bisa dibandingkan dengan PKBM yang berada di luar LPKA. Di sini semuanya terbatas—jumlah guru terbatas, fasilitas terbatas, dan tentu saja kemampuan anak-anaknya juga terbatas," ujar Retno pada Dewiku, Kamis (6/2).

Selain minimnya tenaga pengajar dan keterbatasan fasilitas, pendekatan pembelajaran yang diterapkan di LPKA masih kurang relevan dengan kebutuhan Anak Binaan. 

Banyak pembelajaran yang masih dilakukan secara satu arah, di mana anak hanya diminta mendengar, mencatat, dan menghafal materi tanpa adanya interaksi yang lebih mendalam.

Kondisi pembelajaran yang monoton ini membuat banyak Anak Binaan kehilangan motivasi untuk belajar. Retno menegaskan bahwa pembelajaran yang efektif seharusnya bersifat interaktif dan mampu mendorong anak untuk berpikir kritis serta memahami konsep secara lebih mendalam. 

"Pendidikan seharusnya bukan hanya soal menghafal atau mencatat ulang materi, tetapi juga mendorong anak untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan memahami konsep secara lebih mendalam. Jika metode pembelajaran di LPKA masih bersifat satu arah, anak akan semakin sulit mengejar ketertinggalan pendidikan mereka," tambahnya.

Stigma ABH dan Peran Keluarga Demi Masa Depan Mereka 

Namun, tantangan yang dihadapi Anak Binaan tidak berakhir ketika mereka meninggalkan LPKA. Justru, di luar tembok lembaga pembinaan, mereka harus berhadapan dengan stigma sosial yang masih kuat mengakar.

Upaya mereka untuk kembali menjalani kehidupan normal sering kali terhambat—banyak sekolah yang enggan menerima mereka, keluarga yang menjaga jarak, dan peluang kerja yang sulit.

Bukan hanya kebebasannya yang dibatasi, Rama juga harus merelakam masa depannya yang kini terhalang oleh stigma. Seberapa keras Rama mencoba memperbaiki diri, label "anak nakal yang berhadapan dengan hukum" tetap menjadi bayang-bayang yang sulit dihilangkan.

"Keluar dari sini bukan berarti semuanya langsung selesai. Gimana caranya orang bisa percaya lagi sama kita? Itu yang paling susah," kata Rama.

Rama tumbuh tanpa sosok ayah. Sejak kecil, ia hanya hidup bersama ibunya yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka. Kondisi ekonomi yang sulit membuat ibunya sering tidak punya cukup waktu untuk mendampinginya.

Dalam wawancaranya bersama Dewiku, Rama hampir terisak sangat menyampaikan harapannya untuk tidak mengecewakan ibunya kembali. 

"Saya nggak mau ngecewain Ibu untuk kedua kalinya," ujarnya dengan suara bergetar.

***

Psikolog anak, Dr. Yunita Falea, menegaskan bahwa peran orang tua sangat krusial dalam membentuk perilaku dan keputusan anak. Menurutnya, anak-anak yang tumbuh tanpa pengawasan dan bimbingan yang memadai cenderung lebih rentan terhadap pengaruh lingkungan negatif. 

Lebih lanjut, Yunita juga menjelaskan anak yang berhadapan dengan hukum sebagian besar dari keluarga dengan pola asuh yang tidak stabil, seperti karena kurangnya bimbingan orang tua, kondisi ekonomi yang sulit, atau latar belakang keluarga broken home

"Anak-anak yang tumbuh seperti ini (Rama) sering kali harus mandiri lebih cepat dari usianya. Namun, kemandirian tanpa pendampingan yang tepat bisa menjadi bumerang. Mereka harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya tanpa bimbingan yang cukup, yang pada akhirnya dapat membuat mereka rentan terjebak dalam tindakan yang berisiko," jelasnya, Senin (10/2). 

Sayangnya, ketika anak-anak seperti Rama akhirnya terjerumus dalam masalah dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak, orang tua justru banyak yang lepas tangan. Alih-alih menjadi bagian dari solusi, banyak orang tua yang justru merasa malu, menyerah, atau bahkan menjauh dari anak mereka. 

Padahal, menurut Yunita, dukungan keluarga sangat berperan penting dalam membantu Anak Binaan bangkit dan kembali ke jalur yang benar setelah mereka bebas dari LPKA.

"Dukungan keluarga adalah faktor utama dalam proses reintegrasi anak setelah keluar dari LPKA," ujar Yunita.

Hal ini tercermin dalam penelitian yang dilakukan oleh Smith & Thornberry pada 2019 dalam jurnal Youth Justice and Family Support, yang menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan dukungan keluarga setelah menjalani hukuman memiliki kemungkinan lebih besar untuk kembali ke kehidupan yang stabil, dibandingkan mereka yang mengalami penolakan dari keluarga. 

Studi tersebut menemukan bahwa 78% anak yang mendapat bimbingan dan penerimaan dari keluarga mampu menyelesaikan pendidikan atau mendapatkan pekerjaan dalam dua tahun setelah keluar dari lembaga pembinaan. Sebaliknya, anak yang ditolak oleh keluarga memiliki risiko 2,5 kali lebih besar untuk kembali melakukan pelanggaran hukum.

Hasil riset ini menegaskan bahwa dukungan keluarga memegang peran krusial dalam menentukan masa depan anak. Bimbingan dan penerimaan dari keluarga bukan hanya memberikan stabilitas emosional, tetapi juga mencegah mereka agar tidak kembali ke jalur kriminalitas.  Sedangkan anak-anak yang ditolak oleh keluarganya dapat bersesiko terjemurus kembali pada lingkaran hukum. 

Sistem yang Tidak Siap: ABH Dibiarkan Bertahan Sendiri

"Saya ingin bisa lanjut sekolah lagi setelah keluar nanti. Setidaknya, saya harus punya sesuatu buat masa depan saya," begitulah harapan Rama setelah bebas nanti. 

Namun, impian Rama masih tampaknya akan jauh tercapai. Pasalnya, hingga kini masih banyak ABH yang kesulitan melanjutkan pendidikan setelah bebas dari LPKA.

Sebagian besar sekolah masih mengutamakan citra lembaga dibandingkan prinsip pendidikan inklusif. Tak hanya itu, sistem administrasi pendidikan seperti Dapodik, yang masih kaku dan belum mempertimbangkan kondisi khusus mereka juga menjadi hambatan. 

Jika hal ini dibiarkan, maka pendidikan hanya akan menjadi hak istimewa bagi sebagian kelompok, bukan hak bagi semua anak.

Masalah terbesar muncul setelah ABH bebas. Tidak ada sistem penyaluran pendidikan atau pekerjaan yang jelas, membuat mereka rentan kembali ke lingkungan yang sama.

"Kami sudah memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan, tetapi setelah mereka bebas, tidak ada sistem penyaluran. Anak-anak ini bingung mau ke mana. Jika mereka kembali ke lingkungan yang tidak mendukung, ada kemungkinan besar mereka mengulang kesalahan yang sama. Ini yang menjadi perhatian kami,” ungkap Ahmad Sobirin

Upaya koordinasi sebenarnya telah dilakukan, seperti rapat antara LPKA Jakarta, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Dinas Sosial lebih fokus pada anak jalanan dan gelandangan, sementara Anak Binaan LPKA kurang diperhatikan.

"Dinas Sosial lebih banyak fokus pada anak-anak di luar, seperti anak jalanan atau gelandangan. Sementara anak-anak di LPKA masih kurang diperhatikan. Kami sudah menyampaikan ini ke mereka, tetapi sampai sekarang belum ada respons yang maksimal," ungkapnya.

Hingga saat ini, belum ada regulasi yang jelas dan terperinci mengenai pendidikan bagi Anak Berhadapan dengan Hukum di LPKA. Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memang mengamanatkan bahwa layanan terhadap anak di LPKA harus mengutamakan pendidikan berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi anak. 

Ilustrasi putus sekolah. (Pixabay)
Ilustrasi sekolah. (Pixabay)

Sayangnya, kebijakan ini juga tidak dilengkapi dengan petunjuk operasional dam sistem yang jelas. Akibatnya, pihak LPKA sering menghadapi kesulitan dalam menjalankan program pendidikan yang layak bagi Anak Binaan.

Pendidikan bagi ABH masih bergantung pada sekolah nonformal, seperti PKBM, yang sifatnya sementara. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret, seperti membangun sekolah formal di dalam LPKA, terutama karena tidak semua LPKA di setiap daerah memiliki akses terhadap pendidikan formal. 

Tanpa regulasi yang komprehensif, penyelenggaraan pendidikan di LPKA cenderung akan berjalan tanpa standar yang seragam. Setiap LPKA memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menerapkan program pendidikan, tergantung pada sumber daya yang tersedia. Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan bagi ABH menjadi tidak merata dan tidak optimal.

Jika masa hukuman di LPKA memiliki batas waktu, stigma sosial yang melekat pada ABH bisa menjadi hukuman seumur hidup. Mereka tidak hanya terhambat untuk kembali ke sekolah, tetapi juga sulit mendapatkan pekerjaan dan diterima di masyarakat.

Retno menyoroti pentingnya peran pendidikan dalam membangun masa depan ABH. Ia menyatakan bahwa Anak Binaan tetap berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri dan melanjutkan hidup setalah bebas nanti. 

Namun, menurutnya, stigma yang melekat pada mereka sering kali menjadi penghalang untuk kembali ke masyarakat. Padahal, kesalahan yang mereka lakukan tidak sepenuhnya berasal dari diri mereka sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak mendukung.

"Anak-anak ini tetap berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri dan melanjutkan hidup. Padahal, kesalahan mereka tidak berdiri sendiri—banyak dari mereka adalah korban dari lingkungan yang tidak mendukung," ujarnya.

Seharusnya, setelah keluar dari LPKA, anak-anak ini mendapatkan sistem pendampingan yang jelas—baik dalam bentuk akses pendidikan, pelatihan kerja, maupun rehabilitasi sosial. 

Namun, jika tidak ada mekanisme yang memastikan keberlanjutan pendidikan dan reintegrasi sosial mereka, maka seluruh upaya pembinaan yang dilakukan di dalam LPKA hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak nyata.

Pendidikan seharusnya menjadi jembatan bagi masa depan, bukan tembok yang semakin mempersempit jalan mereka untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Lebih dari sekadar wacana, sistem pendidikan yang benar-benar inklusif bagi ABH juga harus diwujudkan melalui kolaborasi nyata antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. 

Selama administrasi lebih diutamakan daripada hak anak untuk bersekolah, maka pemerintah secara tidak langsung turut memperpanjang ketidakadilan yang mereka alami. 

(Peliputan ini merupakan bagian dari program fellowship Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang didukung oleh INKLUSI dan IPPF)

Penulis: Humaira Ratu Nugraha

Berita Terkait

Berita Terkini