Ragam

Eldest Daughter Syndrome: Dampak Psikologis Menjadi Anak Perempuan Pertama

Fenomena yang dikenal sebagai "Eldest Daughter Syndrome" menggambarkan dampak psikologis yang dapat dialami oleh anak perempuan sulung akibat peran mereka dalam keluarga.

Vania Rossa

Ilustrasi anak perempuan pertama, eldest daughter syndrome. (Ilustrasi/Rochmat Haryadi)
Ilustrasi anak perempuan pertama, eldest daughter syndrome. (Ilustrasi/Rochmat Haryadi)

Dewiku.com - Menjadi anak perempuan pertama dalam keluarga sering kali membawa serangkaian tanggung jawab dan harapan yang unik. Fenomena yang dikenal sebagai "Eldest Daughter Syndrome" menggambarkan dampak psikologis yang dapat dialami oleh anak perempuan sulung akibat peran mereka dalam keluarga.

Apa Itu Eldest Daughter Syndrome?

Anak perempuan pertama dalam keluarga sering kali mengalami serangkaian tantangan, yang berupa tanggung jawab yang dapat membentuk kepribadiannya dan mempengaruhi kesehatan mentalnya.

Eldest Daughter Syndrome (EDS) sendiri bukanlah diagnosis medis resmi dalam dunia medis, namun konsep ini telah menjadi topik diskusi yang luas, terutama di platform media sosial seperti TikTok.

Istilah EDS digunakan untuk menggambarkan pola perilaku dan tantangan emosional yang sering dialami oleh anak perempuan pertama, di mana mereka sering kali diharapkan untuk menjadi pengasuh bagi adik-adik mereka, penengah dalam konflik keluarga, panutan dan contoh yang sempurna bagi adik-adik mereka, serta pemuas harapan orang tua meski sering kali harus mengorbankan kebutuhan mereka sendiri.

Hal ini sesuai dengan pendapat Jamila Jones seorang Konselor profesional klinis berlisensi, yang mengungkap bahwa anak perempuan pertama seringkali diharapkan untuk menjadi contoh bagi saudara-saudaranya.

“Sebagai anak perempuan pertama, mereka seringkali diharapkan untuk menjadi contoh bagi saudara-saudaranya yang lebih muda, mengambil lebih banyak tanggung jawab, dan bertindak sebagai panutan,” ujar Jamila Jones, seperti dilansir dari Charlie Health.

Selain itu, mereka mungkin diminta untuk membantu dalam pekerjaan rumah tangga, mengasuh adik-adik, dan menjadi teladan dalam perilaku dan prestasi akademik. Harapan ini dapat datang dari orang tua yang melihat anak sulung sebagai mitra dalam mengelola rumah tangga.

Tekanan yang memenuhi harapan tinggi ini dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan psikologis anak perempuan pertama.

Mereka mungkin mengembangkan kecenderungan untuk menyenangkan orang lain, merasa cemas, dan kesulitan menetapkan batasan pribadi.

“Meskipun hal ini menumbuhkan rasa tanggung jawab dan empati, hal ini juga tidak memberikan ruang bagi kerentanan atau perjuangan pribadi. Saya mendapati diri saya mengadopsi 'kepura-puraan yang kuat,' bahkan ketika saya merasa kewalahan,” ujar Kristen Jacobsen, seorang anak perempuan sulung yang juga seorang terapis berlisensi dan pemilik Cathartic Space Counseling.

Dalam pilihan karier, anak perempuan pertama cenderung mengambil peran kepemimpinan atau pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawab tinggi.

Namun, mereka juga bisa menghadapi kesulitan dalam delegasi tugas dan merasa terbebani oleh ekspektasi yang mereka tetapkan sendiri.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukannya penetapan batasan yang jelas, mencari dukungan sosial, dan mengakui kebutuhan serta perasaan pribadi.

Penting untuk menyadari bahwa tidak semua anak perempuan tertua akan mengalami tantangan dinamika keluarga ini atau mengembangkan sindrom ini.

Dinamika keluarga dan pola asuh individu sangat bervariasi, membentuk pengalaman setiap orang.
Meskipun tanggung jawab yang diberikan dapat membentuk karakter dan keterampilan kepemimpinan, penting untuk mengenali dan mengatasi potensi dampak negatifnya terhadap kesejahteraan individu.

Dengan meningkatkan kesadaran dan mendorong diskusi terbuka, keluarga dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih seimbang dan mendukung bagi semua anggotanya.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini