Ragam
Overachieving Daughter Syndrome: Susahnya Jadi Anak Perempuan Idaman
Bagi perempuan yang tumbuh dengan tuntutan tinggi, gagal bukan pilihan. Istirahat dianggap malas. Pencapaian yang biasa saja terasa mengecewakan.
Vania Rossa

Dewiku.com - "Anak perempuan itu harus pintar, sopan, dan berprestasi." Kalimat ini mungkin terdengar familiar di telinga kita. Tanpa disadari, ekspektasi tinggi yang dibebankan pada anak perempuan sejak kecil dapat memicu overachieving daughter syndrome.
Apa sebenarnya sindrom ini, dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan perempuan?
Baca Juga
Buka Puasa Mewah All You Can Eat Rasa Dunia Cuma Rp425 Ribu di The Sultan Hotel!
Fawning: Jebakan Menyenangkan Orang Lain, Sampai Lupa Diri Sendiri
Overparenting, Jebakan Pola Asuh Orang Tua Zaman Now: Bisa Hambat Kemandirian Anak?
Sextortion dan Sexploitation: Ketika Privasi Jadi Senjata Pemerasan di Era Digital
Self Gifting: Bukan Boros, Tapi Bentuk Apresiasi pada Diri Sendiri
Lebih dari Sekadar Musik, Ada Pesan Pemberdayaan Perempuan dari JENNIE Lewat Album Ruby
Overachieving Daughter Syndrome adalah kondisi psikologis di mana seorang perempuan merasa tertekan untuk selalu menjadi sempurna dan memenuhi ekspektasi orang lain. Mereka akhirnya cenderung menjadi perfeksionis dan kritis terhadap diri sendiri, serta takut gagal dan selalu berusaha menghindari kesalahan.
Bagi perempuan yang tumbuh dengan tuntutan tinggi, gagal bukan pilihan. Istirahat dianggap malas. Pencapaian yang ‘biasa saja’ terasa mengecewakan.
Ketika Ekspektasi Terasa Mencekik
Faktanya, ada banyak keluarga yang membesarkan anak perempuan dibesarkan dengan standar ganda. Mereka harus pintar, tapi tidak boleh terlalu ambisius.
Di satu sisi, mereka juga harus sukses, tapi tetap rendah hati. Mereka harus kuat, tapi jangan terlalu vokal.
Dr. Lisa Damour seorang psikolog klinis dalam wawancaranya dengan The New York Times menyatakan seorang anak perempuan sering kali harus menyenangkan orang lain dan memenuhi standar yang tinggi dalam lingkungan keluarga atau sekolah.
“Anak perempuan sering kali dikondisikan untuk menyenangkan orang lain dan memenuhi standar yang tinggi, baik dalam lingkungan keluarga maupun di sekolah,” ujarnya.
Dan di era media sosial, tekanan ini semakin besar. Kita dibanjiri gambar perempuan yang sukses, cantik, dan ‘sempurna’ seolah-olah hidup tanpa kegagalan dan kelelahan.
Tidak heran banyak perempuan merasa harus selalu “lebih” dalam segala hal, bahkan ketika mereka sudah merasa kelelahan.
Bikin Stres dan Cemas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tekanan untuk selalu berprestasi dapat menyebabkan kecemasan, stres kronis, dan bahkan kelelahan mental.
Sebuah studi dari Harvard Business Review menemukan bahwa perempuan dengan beban ekspektasi tinggi sejak kecil lebih rentan mengalami imposter syndrome dan kesulitan dalam menetapkan batasan dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi.
Menurut Dr. Pooja Lakshmin, seorang psikiater dan penulis Real Self-Care, perempuan yang mengalami ODS sering merasa bahwa pencapaian mereka tidak pernah cukup.
“Mereka terus-menerus mencari validasi eksternal dan merasa bersalah jika tidak bekerja keras atau tidak memenuhi standar yang ditetapkan,” ungkapnya.
Cara Lepas dari Overachieving Daughter Syndrome
1. Menentukan standar keberhasilan kalian sendiri
Kesuksesan bukan hanya soal nilai sempurna atau jabatan tinggi. Kebahagiaan, keseimbangan hidup, dan kesehatan mental juga bagian dari keberhasilan.
2. Belajar berkata ‘tidak’
Kamu tidak harus selalu menyenangkan semua orang. Menjaga batasan adalah tindakan keberanian yang melindungi kesehatan mental kita.
3. Berhenti mencari validasi eksternal
Nilai dirimu tidak ditentukan oleh pencapaian atau pujian orang lain.
4. Dapatkan dukungan
Terhubung dengan komunitas, mentor, atau profesional kesehatan mental bisa membantumu mengatasi pola pikir ini.
Mungkin sudah waktunya untuk berhenti berlari mengejar kesempurnaan yang tak ada habisnya. Kalian tidak harus menjadi segalanya untuk semua orang.
Jadi, siap untuk membebaskan diri dari overachieving daughter syndrome dan mulai menjalani hidup sesuai dengan versi terbaik dirimu sendiri?
(Mauri Pertiwi)