Ragam
Stigma Perempuan Breadwinner: Kemandirian Finansial Kuat dan Tekanan Sosial
Banyak yang masih menganggap bahwa laki-laki harus menjadi pencari nafkah utama.
Risna Halidi

Dewiku.com - Dulu, ada anggapan bahwa laki-laki harus jadi pencari nafkah utama. Tapi zaman berubah dan semakin banyak perempuan kini memegang peran sebagai breadwinner.
Mereka bekerja keras, menopang ekonomi keluarga, bahkan kadang jadi satu-satunya sumber penghasilan. Tapi, meski finansial mereka kuat, tak jarang tekanan sosial justru lebih berat.
Baca Juga
Sensasi Makan AYCE Kambing Guling di Sekar Jagat: Empuk Tanpa Bau Prengus
Fenomena Delulu Is The Solulu, Strategi Psikologis atau Sekadar Ilusi?
Invisible Load: Beban Mental yang Tidak Terlihat di Balik Peran Perempuan
Hati-Hati dengan Almond Mom, Fenomena Ibu-Ibu yang Menanamkan Ketakutan Makan pada Anak
Benarkah Olahraga Harus Disesuaikan dengan Siklus Menstruasi? Ini Penjelasan Ahli!
Self Development Kian Diminati, Jalan Ninja Menjadi Versi Terbaik Diri Sendiri
"Kasihan anaknya, ibunya sibuk kerja terus."
"Kalau istri yang cari uang, nanti suami merasa direndahkan!"
Kalimat-kalimat ini mungkin sering terdengar, baik dalam bisikan tetangga, obrolan keluarga, atau bahkan dalam pikiran mereka sendiri.
Menurut laporan Pew Research Center, sekitar 40 persen rumah tangga di AS kini bergantung pada perempuan sebagai pencari nafkah utama. Tren ini juga terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Namun, stigma tetap mengakar. Banyak yang masih menganggap bahwa laki-laki harus menjadi pencari nafkah utama.
Ketika perempuan mengambil peran ini, sering muncul ketidaknyamanan, baik dari pasangan, keluarga, maupun lingkungan sosial.
Dr. Catherine Hakim, seorang sosiolog asal Inggris, mengatakan masyarakat sekarang masih beranggapan laki-laki harus jadi pencari nafkah utama.
"Masyarakat masih punya anggapan bahwa laki-laki harus jadi pencari nafkah utama. Ketika perempuan mengambil peran ini, banyak yang merasa tidak nyaman baik suami, keluarga, maupun lingkungan sosial," ujarnya.

Hal ini dapat mengancam ego laki-laki atau mengabaikan peran sebagai ibu rumah tangga juga berpotensi mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.
Dr. Naila Kabeer, profesor gender dan pembangunan di London School of Economics, menjelaskan bahwa perempuan yang menjadi pencari nafkah utama sering kali mengalami beban ganda.
"Mereka tidak hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi juga tetap diharapkan mengurus rumah dan anak-anak. Ini menciptakan tekanan luar biasa bagi perempuan," katanya.
Seperti yang diungkapkan Sarah Kim, seorang content creator di YouTube, TikTok, dan Instagram.
Dalam salah satu siniarnya, ia mengaku menjadi pencari nafkah utama di rumah tangganya, termasuk membayar tempat tinggal mereka saat ini.
Selain itu, Sarah juga mengatakan jika ia menghasilkan uang lebih banyak, ia juga membutuhkan nafkah suaminya.
"Saya masih harus berhadapan dengan kenyataan bahwa saya masih membutuhkan seorang penyedia," ujarnya melalui akun YouTube pribadinya.
"Saya tetap membutuhkan penyedia atau kontributor keuangan. Dan bagaimana saya mengungkapkan kebutuhan itu kepada anda tanpa membawa rasa bersalah atau malu? Jadi, itu sangat sulit bagi saya," tambahnya.
Jadi, Diperlukannya Perubahan
Perubahan sosial dan ekonomi menuntut adanya pemahaman yang lebih luas mengenai peran gender dalam keluarga.
Dalam konteks ini, dukungan dari pasangan dan lingkungan sekitar menjadi faktor penting dalam menciptakan keseimbangan.
Untuk menciptakan rumah tangga yang harmonis, komunikasi yang terbuka antara pasangan sangat diperlukan.
Dr. Naila Kabeer menekankan bahwa pergeseran peran dalam keluarga harus dibarengi dengan negosiasi peran baru yang adil dan saling mendukung.
Masyarakat juga perlu mulai mengakui bahwa menjadi pencari nafkah bukan hanya tanggung jawab laki-laki atau perempuan, melainkan tanggung jawab bersama.
Kampanye kesadaran mengenai peran ganda perempuan, kebijakan yang lebih inklusif di tempat kerja, serta pembagian tugas rumah tangga yang lebih setara dapat menjadi langkah nyata.
Sebagai individu, penting bagi perempuan yang menjadi breadwinner untuk tidak merasa bersalah atau terbebani oleh ekspektasi sosial.
Sebaliknya, mereka harus mendapatkan dukungan penuh, baik dari pasangan, keluarga, maupun masyarakat.
Pada akhirnya, perubahan tidak hanya tentang siapa yang mencari nafkah, tetapi bagaimana kita sebagai masyarakat bisa mendukung setiap individu untuk menjalankan perannya tanpa rasa takut atau stigma.
Penulis: Mauri Pertiwi