Ragam
Di Balik Pertanyaan "Kapan Nikah?": Dampak Single Shaming Pada Kesehatan Mental Perempuan
Pertanyaan "kapan nikah?" mungkin terdengar sepele, namun bagi sebagian perempuan lajang, pertanyaan ini bisa menjadi momok yang menakutkan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Pertanyaan "kapan nikah?" mungkin terdengar sepele, namun bagi sebagian perempuan lajang, pertanyaan ini bisa menjadi momok yang menakutkan. Pertanyaan ini seringkali dilontarkan dalam berbagai kesempatan, mulai dari pertemuan keluarga, reuni teman, hingga obrolan santai dengan tetangga.
Tanpa disadari, pertanyaan ini bisa menjadi bentuk single shaming yang berdampak negatif pada kesehatan mental perempuan.
Baca Juga
Gaji Tinggi dan Karier Impian: Alasan Singapura Jadi Daya Tarik Bagi Pekerja Indonesia
Sensasi Makan AYCE Kambing Guling di Sekar Jagat: Empuk Tanpa Bau Prengus
Fenomena Delulu Is The Solulu, Strategi Psikologis atau Sekadar Ilusi?
Ketika Kehidupan Pribadi Anak Jadi Konten Momfluencer: Tren atau Eksploitasi?
Keseimbangan Semu, Bisakah Perempuan Sukses di Karier dan Keluarga?
Puluhan Brand Lokal Terbaik Kumpul di Bekasi! Jangan Lewatkan GLAMLOCAL Wonderful Ramadan 2025
Apa itu Single Shaming?
Single shaming adalah tindakan atau ucapan yang merendahkan, menghakimi, atau mendiskriminasi seseorang karena status lajangnya.
Tindakan ini seringkali didasari oleh anggapan bahwa perempuan yang belum menikah adalah perempuan yang tidak sempurna, tidak bahagia, atau bahkan tidak laku.
Ya, faktanya, semakin berkembangnya zaman tidak membuat perempuan merasa aman untuk membuat pilihan tidak menikah cepat-cepat, karena masih banyak ditemukan perempuan yang menghadapi tekanan sosial karena status lajang mereka.
Tekanan sosial ini seringkali muncul dalam bentuk pertanyaan seperti “Kapan menikah?” atau komentar seperti “Jangan terlalu pilih-pilih!”, seolah-olah pernikahan adalah satu-satunya tolak ukur kesuksesan dan kebahagiaan perempuan.
Media Sosial dalam Memperkuat Single Shamming
Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook berperan besar dalam memperkuat fenomena single shamming.
Berbagai konten dalam platform ini seringkali menampilkan standar kehidupan ideal yang berkaitan dengan pernikahan dan keluarga sebagai indikator kebahagiaan. Tren seperti wedding goals atau relationship goals kerap kali membuat perempuan yang belum menikah merasa tertinggal.
Menurut Dr. Jean Twenge, seorang peneliti psikologi sosial, paparan berlebihan terhadap konten di media sosial dapat menyebabkan perasaan tidak puas terhadap kehidupan sendiri. Pengguna media sosial akan mulai membandingkan keadaan pada konten dengan realita kehidupannya.
Dampak Single Shamming terhadap Kesehatan Mental
Dr. Lisa Feldman Barrett, seorang psikolog dan profesor di Northeastern University, menyatakan bahwa tekanan sosial akibat single shamming dapat menimbulkan stres, kecemasan, hingga depresi pada individu yang mengalaminya.
Ketika seseorang terus-menerus dihadapkan pada ekspektasi sosial yang tidak sesuai dengan pilihan hidupnya, mereka cenderung mengalami perasaan rendah diri dan mulai mempertanyakan nilai diri mereka sendiri.
Selain itu, penelitian dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa perempuan yang menghadapi tekanan sosial terkait pernikahan cenderung mengalami penurunan kesejahteraan emosional.
Mereka sering kali merasa tidak cukup baik atau gagal hanya karena belum menikah, meskipun mereka telah mencapai kesuksesan dalam aspek lain seperti karier dan pendidikan.
Hal ini juga dapat meningkatkan tekanan pada perempuan untuk menikah tanpa pertimbangan yang matang. Pada akhirnya, banyak perempuan yang menikah bukan karena kesiapan, tetapi karena tekanan dari lingkungan sekitarnya.
Mengubah Perspektif dan Membangun Dukungan Sosial
Untuk mengatasi dampak negatif single shamming, penting bagi masyarakat untuk mengubah cara pandang mereka terhadap perempuan lajang. Beberapa langkah yang bisa dilakukan meliputi:
- Menghargai pilihan hidup orang lain, setiap individu memiliki jalannya masing-masing dalam mencapai kebahagiaan. Tidak semua orang menganggap pernikahan sebagai tujuan utama dalam hidup mereka.
- Mendukung self-love dan independensi, banyak perempuan yang memilih untuk fokus pada pengembangan diri, karier, atau hal-hal lain yang membuat mereka bahagia tanpa terburu-buru menikah.
- Mengurangi ekspektasi sosial yang berlebihan, menghentikan kebiasaan menanyakan status pernikahan seseorang sebagai bagian dari obrolan sehari-hari bisa membantu mengurangi tekanan sosial.
- Menggunakan media sosial secara positif, daripada membandingkan diri dengan standar sosial yang dibuat di media lebih baik mengikuti akun-akun yang mempromosikan self-acceptance dan keberagaman pilihan hidup.
Single shaming adalah masalah serius yang perlu diatasi. Setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, termasuk pilihan untuk menikah atau tidak menikah. Yuk, ciptakan lingkungan sosial yang lebih inklusif dan suportif bagi semua perempuan, terlepas dari status pernikahan mereka.
(Sifra Kezia)