Ragam

Tren Work-Life Balance di Kalangan Cewek Karier, Emang Bisa?

Dalam budaya kerja yang semakin kompetitif, banyak perusahaan masih menerapkan sistem kerja yang menuntut karyawan untuk selalu "on" dan siap bekerja kapan saja.

Risna Halidi

Ilustrasi bekerja / Pixabay.com
Ilustrasi bekerja / Pixabay.com

Dewiku.com - Banyak perempuan karier menghadapi tantangan besar dalam mencapai work-life balance, yang sering kali terlihat dalam berbagai perilaku sehari-hari. 

Dalam budaya kerja yang semakin kompetitif, banyak perusahaan masih menerapkan sistem kerja yang menuntut karyawan untuk selalu "on" dan siap bekerja kapan saja. 

Hal ini menyebabkan perempuan merasa terbebani untuk merespons email atau pesan kerja larut malam, bahkan di saat mereka seharusnya beristirahat. 

Tidak jarang, mereka juga mengorbankan akhir pekan untuk menyelesaikan pekerjaan tambahan demi memenuhi ekspektasi perusahaan akan produktivitas tinggi. 

Kondisi ini semakin diperparah dengan perkembangan teknologi yang membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi semakin kabur. 

Smartphone, laptop, dan email kantor yang selalu dalam genggaman sering kali membuat perempuan tetap terhubung dengan pekerjaan, bahkan saat sedang liburan atau berkumpul dengan keluarga. 

Banyak dari mereka yang tanpa sadar terus mengecek notifikasi pekerjaan di tengah waktu bersama keluarga, saat makan malam, atau bahkan sebelum tidur, sehingga sulit untuk benar-benar memisahkan kehidupan profesional dari kehidupan pribadi.

Selain tekanan dari dunia kerja dan teknologi, perempuan juga menghadapi ekspektasi sosial yang masih kuat dalam masyarakat. 

Ilustrasi perempuan melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (Freepik/wayhomestudio)
Ilustrasi perempuan melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (Freepik/wayhomestudio)

Meskipun mereka memiliki pekerjaan penuh waktu, banyak yang tetap diharapkan untuk menjalankan peran tradisional sebagai pengurus rumah tangga. 

Setelah pulang kerja, mereka masih harus memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, dan memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi, sering kali tanpa banyak bantuan dari pasangan atau anggota keluarga lainnya. 

Tekanan ini tidak hanya datang dari dalam rumah, tetapi juga dari lingkungan sosial yang masih menganggap perempuan sebagai sosok yang bertanggung jawab atas urusan domestik. 

Jika seorang perempuan terlalu fokus pada pekerjaannya dan memiliki waktu terbatas untuk keluarganya, mereka sering kali dianggap kurang perhatian atau bahkan dikritik karena tidak menjalankan peran yang "seharusnya." 

Selain itu, mereka juga menghadapi dilema dalam memilih antara karier dan keluarga, di mana keputusan untuk mengambil cuti atau mengurangi jam kerja demi mengurus anak sering kali dianggap sebagai tanda kurangnya ambisi dalam dunia profesional.

Di sisi lain, tekanan sosial juga muncul dalam bentuk FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan akan tertinggal dari rekan-rekan sejawat dalam dunia kerja. 

Banyak perempuan merasa ragu untuk mengambil cuti atau beristirahat sejenak karena khawatir kehilangan peluang promosi, dianggap kurang berdedikasi oleh atasan, atau tidak mampu bersaing dengan rekan kerja yang terus maju. 

Ilustrasi workcation, bekerja sambil liburan (Pexels/Yan Krukau)
Ilustrasi bekerja sambil liburan (Pexels/Yan Krukau)

Perilaku-perilaku ini menunjukkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi perempuan dalam membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. 

Work-life balance bukan sekadar tentang mengatur waktu dengan baik, tetapi juga tentang mengatasi ekspektasi sosial, tekanan pekerjaan, dan dampak teknologi yang terus berkembang. 

Jika tidak dikelola dengan baik, ketidakseimbangan ini dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik, mental, dan kualitas hidup secara keseluruhan. 

Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik, baik dari individu itu sendiri, lingkungan kerja, maupun masyarakat, agar perempuan dapat mencapai keseimbangan yang lebih baik antara karier dan kehidupan pribadi mereka.

Penulis: Imelda Rosalin

Berita Terkait

Berita Terkini