Ragam
Resting Nice Face: Topeng Senyum yang Menyembunyikan Luka Emosional Perempuan
Resting nice face mengacu pada ekspektasi sosial bahwa perempuan harus selalu memiliki ekspresi wajah yang ramah dan menyenangkan, bahkan ketika mereka sedang tidak melakukan apa pun.
Vania Rossa

Dewiku.com - Dalam masyarakat yang sering kali menuntut perempuan untuk selalu terlihat ramah dan menyenangkan, istilah 'resting nice face' (wajah ramah saat diam) menjadi fenomena yang umum. Namun, di balik senyum yang dipaksakan, tersembunyi beban emosional yang signifikan bagi banyak perempuan.
Apa Itu Resting Nice Face?
Baca Juga
Terjebak dalam Fake Helplessness, Kenapa Kita Sering Merendahkan Potensi Diri?
Mengapa Banyak Perempuan Mengalami Penurunan Aktivitas Sosial saat Memasuki Usia 40-an?
Fear Of Success: Ketika Puncak Karier Jadi Momok Menakutkan
Minggu Ceria Dewiku Bersama Komunitas TBM Kolong Ciputat: Bermain hingga Buka Bersama
Cara Mudah Membangun Kebiasaan Jalan Kaki 10 Ribu Langkah Setiap Hari
Kekuatan Berkata "Tidak": Mengapa Perempuan Perlu Belajar Menolak dengan Tegas
Resting nice face mengacu pada ekspektasi sosial bahwa perempuan harus selalu memiliki ekspresi wajah yang ramah dan menyenangkan, bahkan ketika mereka sedang tidak melakukan apa pun. Ini berarti perempuan sering kali merasa tertekan untuk tersenyum atau terlihat bahagia, terlepas dari perasaan mereka yang sebenarnya.
Fenomena ini mencerminkan beban emosional yang besar, di mana perempuan merasa terpaksa menunjukkan ekspresi ceria dan menyenangkan demi memenuhi ekspektasi sosial.
Masyarakat cenderung mengasosiasikan senyuman dengan keramahan, keterbukaan, dan kehangatan, sehingga perempuan yang tidak tersenyum sering kali dianggap tidak ramah, sombong, atau bahkan bermasalah.
Beban Emosional di Balik Senyuman
Melansir Psychology Today, perempuan seringkali dibebani ekspektasi untuk tampil lebih ekspresif dan ceria dibandingkan pria.
Dan juga, ekspresi wajah perempuan sering kali dijadikan ukuran utama untuk menilai kepribadian mereka.
“Bagi banyak perempuan, ekspresi wajah mereka menjadi cara utama untuk menunjukkan sifat terbuka dan hangat. Ketika mereka tidak memperlihatkan ekspresi yang diinginkan, mereka bisa dianggap tidak ramah atau bahkan sombong,” ujar Dr. Sarah J. Gervais, seorang profesor psikologi sosial di University of Nebraska-Lincoln.
Hal ini membuat perempuan sering kali merasa perlu untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya, dengan senyum yang terpaksa, bahkan ketika mereka sedang tidak merasa bahagia atau cemas.
Dalam banyak kasus, senyuman ini menjadi masker yang menutupi ketegangan dan stres yang mereka alami.
Ekspektasi ini berakar dari norma budaya yang telah lama tertanam dalam masyarakat. Sejak kecil, anak perempuan lebih sering diberi pujian ketika mereka terlihat ceria dan menyenangkan.
Hal ini berlanjut hingga dewasa, di mana perempuan sering kali menerima komentar seperti, "Coba tersenyum sedikit," atau "Kenapa cemberut?" bahkan dari orang asing.
Dr. Marianne LaFrance, seorang profesor psikologi di Yale University, menjelaskan bahwa tekanan untuk tersenyum lebih sering dialami perempuan karena ada anggapan bahwa mereka bertanggung jawab untuk menciptakan suasana yang menyenangkan.
“Ketika seorang perempuan tidak tersenyum, orang cenderung berpikir ada sesuatu yang salah dengan dirinya, bukan dengan situasi di sekitarnya. Ini adalah standar ganda yang tidak dikenakan pada pria," kata Marianne dilansir The Guardian.
Meskipun tersenyum dapat meningkatkan suasana hati, memaksa diri untuk selalu tersenyum bisa berdampak negatif pada kesejahteraan mental.
Banyak perempuan merasa bahwa mereka harus menyembunyikan perasaan sebenarnya di balik senyum agar tidak dianggap negatif oleh orang lain.
Hal ini menciptakan ketegangan emosional, di mana mereka harus menekan emosi seperti kesedihan, kelelahan, atau kemarahan demi menjaga citra yang diinginkan masyarakat.
Dalam dunia kerja, misalnya, perempuan sering kali diharapkan untuk menunjukkan ekspresi ramah dan hangat agar dianggap profesional.
Seorang perempuan yang menunjukkan wajah serius atau netral bisa dianggap kurang menyenangkan dibandingkan rekan laki-lakinya.
Studi juga menunjukkan bahwa perempuan yang tidak tersenyum sering kali menerima umpan balik negatif atau dianggap kurang kooperatif, meskipun mereka bekerja dengan cara yang sama seperti pria.
Tekanan untuk selalu tersenyum bukan hanya sekadar masalah penampilan, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan gender yang lebih luas.
Perempuan harus memiliki kebebasan untuk mengekspresikan emosi mereka tanpa takut dihakimi.
Tidak tersenyum bukan berarti seseorang tidak ramah atau tidak menyenangkan itu hanya berarti mereka sedang menjadi diri sendiri.
Karena resting nice face adalah masalah yang kompleks dan meluas, penting untuk mengakui beban emosional yang dikenakannya pada perempuan dan bekerja untuk menciptakan masyarakat yang lebih menerima dan mendukung.
(Mauri Pertiwi)