Trending
Apa Itu Femisida? Ramai Dikaitkan dengan Film Vina: Sebelum 7 Hari
Apa arti istilah femisida yang belakangan viral di media sosial?
Rima Sekarani Imamun Nissa

Dewiku.com - Istilah femisida belakangan viral setelah diutarakan Komnas Perempuan terkait film "Vina: Sebelum 7 Hari". Film ini diangkat berdasarkan kisah nyata perempuan berusia 16 tahun bernama Vina yang menjadi korban tewas pembantaian geng motor pada 2016 lalu.
Apa itu femisida? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), femisida adalah pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan.
Baca Juga
Dilansir dari laman resmi, Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan pun menjelaskan pengertian femisida menurut Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dijelaskan bahwa femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukkan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Kasus femisida berbeda dengan pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi.
Femisida bukanlah kematian pada umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi, baik pada ranah privat, komunitas maupun negara.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebut kisah Vina yang diangkat ke layar lebar adalah fenomena femisida.
"Yang dialami Vina bukan saja kekerasan seksual, tetapi juga femisida yakni pembunuhan perempuan yang berlatar belakang atau didorong bias gender. Dalam kasus ini, pihak laki-laki melakukan pembunuhan karena didorong oleh rasa marah akibat maskulinitas dan otoritasnya ditentang oleh korban," ujar Andy, dikutip dari Suara.com.
Menurut Andy Yentriyani, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengerti tentang kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Akibatnya, masih banyak orang yang melihat perempuan sebagai objek seksual semata.
"Kita belum berhasil 100 persen mengubah cara pandang di masyarakat agar menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, menghormati hak-hak asasi manusia secara utuh dan memposisikan perempuan bukan sebagai objek seksual dan subordinat," paparnya.
Pola pikir tersebut bisa membuat korban kekerasan seksual merasa semakin tersudutkan. Bahkan, perilaku menyalahkan korban tak jarang menyebabkan proses penegakan hukum dan keadilan untuk korban sulit didapat.
"Memang disesalkan kebiasaan menyalahkan korban masih sering kita temukan di masyarakat, terutama terhadap perempuan korban kekerasan seksual," ujar Andy.