Trending

Politik, Agama, dan Pendidikan: Di Balik Kebijakan Libur Sekolah Selama Bulan Ramadan yang Batal Diterapkan

Libur sekolah selama bulan Ramadan tahun 2025 sempat diwacanakan oleh pemerintah. Namun, wacana tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, hingga akhirnya resmi dibatalkan.

Vania Rossa

Ilustrasi Libur Sekolah Selama Bulan Ramadan. (Freepik)
Ilustrasi Libur Sekolah Selama Bulan Ramadan. (Freepik)

Dewiku.com - Libur sekolah selama bulan Ramadan tahun 2025 sempat diwacanakan oleh pemerintah. Namun, wacana tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, hingga akhirnya resmi dibatalkan.

Wacana libur selama sebulan penuh awalnya bertujuan untuk memberi kenyamanan bagi para pelajar muslim agar fokus pada ibadah di bulan Ramadan. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana nasib para pelajar non-muslim di Indonesia jika kebijakan ini diberlakukan?

Meski telah resmi dibatalkan, faktanya, di era kepemimpinan Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, di tahun 1999, kebijakan libur sekolah selama bulan Ramadan pernah diberlakukan.

Tidak hanya menetapkan libur sekolah selama 1 bulan penuh, saat itu sekolah-sekolah juga didorong untuk mengadakan kegiatan seperti pesantren kilat. Tujuan dari program ini adalah agar para siswa dapat lebih mendalami ajaran Islam selama bulan Ramadan.

Asal-Usul Libur Sekolah Selama Ramadan

Apakah Gus Dur adalah pemimpin yang pertama kali menerapkan kebijakan libur sekolah satu bulan di Indonesia? Ternyata tidak. Menurut berbagai sumber yang dirangkum Dewiku, kebijakan libur sekolah selama 1 bulan penuh sudah ada pada masa kolonial Belanda, di mana pemerintah Hindia Belanda saat itu meliburkan sekolah-sekolah selama bulan Ramadan.

Kebijakan ini diterapkan pada sekolah-sekolah binaan pemerintah, mulai dari tingkat dasar seperti Holland-Inlandsche School (HIS) hingga tingkat menengah atas seperti Hogere Burger School (HBS) dan Algemene Middelbare School (AMS). Libur ini berlangsung sekitar 39 hari, mencakup seluruh bulan puasa dan beberapa hari setelah Lebaran. Kebijakan tersebut didasarkan pada pandangan pemerintah kolonial terhadap Islam dalam bidang pendidikan.

Dr. N. Andriani, penasihat Urusan Bumiputera, menekankan pentingnya menghormati praktik keagamaan penduduk pribumi, termasuk puasa Ramadan.

Sekar Ayu, gen millenial yang merasakan kebijakan libur sekolah selama bulan Ramadhan di tahun 2000, membagikan pengalamannya, bahwa kebijakan tersebut kurang efektif karena anak-anak pada masa itu jadi kurang berkegiatan.

“Dulu aku ngerasanya ngebosenin, soalnya full di rumah bulan puasa pula, jadi kayaknya puasa makin lama gitu rasanya,” ungkap Sekar kepada Dewiku pada Rabu (22/02).

Dirinya menambahkan, ada beberapa tugas yang diberikan oleh pihak sekolah meskipun libur panjang, salah satunya tugas agenda Ramadhan, yaitu pesantren kilat dan meminta tanda tangan imam sholat tarawih.

“Menurut aku, lebih baik tetap masuk sekolah, tapi seminggu awal sama seminggu akhir libur, meskipun bulan puasa rawan ngantuk, jadi kegiatan belajar mengajar pelajaran sekolah bisa diselingin dengan kegiatan pesantren kilat gitu,” pungkas Sekar.

Kebijakan libur sekolah satu bulan penuh memang telah dibatalkan pemerintah. Namun, pendukung kebijakan ini berargumen bahwa libur panjang memberikan kesempatan bagi siswa muslim untuk fokus pada ibadah puasa dan kegiatan keagamaan lainnya. Di sisi lain, penentang kebijakan ini berpendapat bahwa pendidikan adalah hak semua siswa dan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan agama tertentu.

(Nurul Lutfia)

Berita Terkait

Berita Terkini