Trending

LBH APIK Jakarta Desak Pembukaan Kembali Penyelidikan Kasus Kekerasan Seksual di Kedutaan Besar

Dalam kasus ini, korban adalah staf magang, sementara pelaku adalah atasan, yang menciptakan ketimpangan kekuasaan.

Vania Rossa

Ilustrasi kasus kekerasan seksual. (Freepik/jcomp)
Ilustrasi kasus kekerasan seksual. (Freepik/jcomp)

Dewiku.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Jakarta) menggelar konferensi pers untuk mendesak Pembukaan Kembali Penyelidikan Kasus Kekerasan Seksual di Kedutaan Besar di Indonesia.

LBH APIK mendesak Polda Metro Jaya untuk mencabut Surat Pemberhentian Penyelidikan (SP2) dan melanjutkan proses hukum demi keadilan bagi korban.

Pengacara LBH APIK, Tuani Sondang, mengungkap bahwa saat kejadian berlangsung, korban merupakan staf magang di sebuah perusahaan di Kedutaan Besar di Indonesia. 

Ia menjelaskan bahwa korban mengalami tiga peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku, yang merupakan atasan di tempatnya bekerja.

“Korban baru berani melaporkan kasus ini ke Direktur dan HRD perusahaan pada tahun 2021. Setelah dilakukan investigasi internal, pelaku hanya dijatuhi sanksi ringan berupa skorsing lima hari,” kata Tuani Sondang.

Korban kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya pada 23 Agustus 2021, dengan Pasal 294 ayat 2 KUHP tentang perbuatan cabul oleh atasan terhadap bawahannya.

Setelah dua tahun penyelidikan, Polda Metro Jaya menghentikan kasus ini pada 22 November 2023, dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana akibat ketiadaan hasil visum yang menunjukkan perlukaan. Miris, karena kasus ini memang bukan pemerkosaan.

Dr. Beni Harmoni Harefa, ahli pidana, menjelaskan bahwa dalam banyak kasus kekerasan seksual, minimnya saksi mata sering kali menjadi kendala utama.

“Kasus ini kejahatan serius dan harus ditangani dengan cara yang serius. Salah satu solusinya dapat dibuktikan melalui metode scientific crime investigation, mengandalkan bukti ilmiah seperti rekaman komunikasi dan keterangan ahli psikologi,” ujar Beni.

Sementara itu, ahli hukum gender, Asni Friyanti Damanik, menekankan bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi dalam relasi kuasa. 

Dalam kasus ini, korban adalah staf magang, sementara pelaku adalah atasan, yang menciptakan ketimpangan kekuasaan.

“Aspek gender dalam penanganan kasus ini sangat penting. Seharusnya aparat penegak hukum sudah memiliki perspektif gender, Namun, kenyataannya, pertanyaan yang menyudutkan korban masih sering muncul dalam proses penyelidikan, seperti ‘kenapa baru melapor?’ Selain itu, penyelidik mempertemukan korban dengan pelaku tanpa informasi di awal pada korban,” ujar Asni.

LBH APIK bersama korban mendorong gelar perkara khusus agar penyelidikan kasus ini dibuka kembali pada 14 Januari 2025. Mereka berharap proses tersebut dapat menghadirkan kejelasan hukum dan mempertimbangkan kembali bukti yang telah diajukan. 

Namun, hingga saat ini, hasil gelar perkara masih belum diumumkan, dan korban bersama tim kuasa terus berupaya agar kasus ini mendapat keadilan yang layak.

(Humaira Ratu)

Berita Terkait

Berita Terkini