Trending

Polemik Tes Kehamilan di Sekolah: Pelanggaran Privasi atau Upaya Pencegahan?

Tes kehamilan dapat mempengaruhi kesehatan mental dan psikososial, jadi hal tersebut bisa meningkatkan kecemasan, rasa malu, dan stres pada siswi, terutama jika dilakukan tanpa persetujuan mereka.

Vania Rossa

Ilustrasi test pack. (Freepik)
Ilustrasi test pack. (Freepik)

Dewiku.com - Media sosial sempat di hebohkan dengan video yang beredar menunjukkan siswi SMA sedang menjalani tes kehamilan di sekolah. Dalam video tersebut, para siswi terlihat mengantre untuk melakukan tes urine menggunakan test pack, lalu menyerahkan hasilnya kepada pihak sekolah.

Belakangan diketahui bahwa kejadian tersebut terjadi di SMA Sultan Baruna di Cianjur, Jawa Barat. Program siswi SMA tes kehamilan ini ternyata merupakan program tahunan sekolah tersebut. Bahkan, ada beberapa sekolah lain yang ternyata sudah menjalankan program ini juga.

Astrid Nur Alfradais, Psikolog Klinis, menyoroti bahwa tes kehamilan dapat mempengaruhi kesehatan mental dan psikososial, jadi hal tersebut bisa meningkatkan kecemasan, rasa malu, dan stres pada siswi, terutama jika dilakukan tanpa persetujuan mereka.

“Rasa takut terhadap stigma sosial dapat menyebabkan mereka menarik diri dari lingkungan sosial dan akademik. Selain itu, kebijakan ini bisa memperburuk kondisi psikologis remaja kalau memang hasilnya itu positif, sehingga dapat meningkatkan risiko gangguan kecemasan dan depresi mereka,” ujar Astrid kepada Dewiku, Minggu (2/02).

Beprotensi Melanggar Privasi

Kebijakan ini dinilai berpotensi melanggar hak privasi dan rasa aman karena mewajibkan siswa untuk mengungkapkan kondisi kesehatan mereka tanpa persetujuan penuh.

Hal ini dapat membuat mereka merasa diawasi secara berlebihan, yang pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan terhadap institusi sekolah.“Akibatnya, siswi mungkin enggan mencari bantuan ketika menghadapi masalah kesehatan reproduksi atau psikologis karena khawatir informasi pribadi mereka akan terungkap,” ungkap Astrid.

Astrid menegaskan, sekolah sebaiknya fokus pada pendidikan kesehatan reproduksi yang berbasis ilmu pengetahuan, tanpa menerapkan kebijakan yang berpotensi diskriminatif.

“Penting untuk memastikan bahwa pendekatan yang digunakan tidak berujung pada pelabelan atau stigma negatif, misalnya terhadap siswa yang hamil di luar nikah atau perempuan yang dianggap tidak menjaga kehormatan,” kata Astrid.

Pendekatan yang lebih efektif adalah menekankan edukasi tentang cara menjaga kesehatan reproduksi serta menghindari pergaulan berisiko. Selain itu, program bimbingan dan konseling perlu diperkuat agar siswa memiliki ruang aman untuk berdiskusi.

Dampak Jangka Panjang

Dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap pola pikir dan hubungan sosial perempuan dapat menanamkan rasa ketidakpercayaan mereka terhadap sekolah. Padahal, seharusnya sekolah menjadi institusi yang mendukung dan melindungi mereka.

“Lebih jauh, kebijakan semacam ini dapat membuat mereka merasa bahwa tubuh dan kehidupan pribadi mereka selalu diawasi dan dikontrol, yang pada akhirnya memengaruhi cara mereka memandang institusi otoritas serta kepercayaan diri dalam mengambil keputusan,” ungkap Astrid.

Dampaknya pun bisa meluas, tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan dalam lingkungan akademik tetapi juga dalam lingkungan profesional di masa depan.

Bahkan, ketidakpercayaan ini bisa meluas ke sektor lain, seperti layanan kesehatan, sehingga mereka menjadi enggan untuk mencari bantuan atau informasi yang seharusnya mereka perlukan.

(Nurul Lutfia)

Berita Terkait

Berita Terkini