Trending

100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran: Hak Perempuan Masih Jadi Agenda Pinggiran?

Minimnya kebijakan konkret yang berfokus pada kesetaraan gender dan perlindungan perempuan semakin memperjelas bahwa pemerintahan ini belum menempatkan perempuan sebagai prioritas utama.

Vania Rossa

Ilustrasi Hak Perempuan Masih Jadi Agenda Pinggiran (Freepik)
Ilustrasi Hak Perempuan Masih Jadi Agenda Pinggiran (Freepik)

Dewiku.com - 100 hari sudah pemerintahan Prabowo dan Gibran berlalu, namun tampaknya isu hak perempuan masih berada jauh dari prioritas agenda nasional. Minimnya kebijakan konkret yang berfokus pada kesetaraan gender dan perlindungan perempuan semakin memperjelas bahwa pemerintahan ini belum menempatkan perempuan sebagai prioritas utama.

Bahkan, komposisi kabinet yang hanya mencakup 5 menteri perempuan dan 8 wakil menteri perempuan menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam pemerintahan ini masih sangat rendah. 

Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Perempuan

Salah satu kebijakan kontroversial dalam 100 hari pertama ini adalah Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur tata cara izin perkawinan dan perceraian bagi ASN, termasuk aturan mengenai poligami. 

Pemerintah berdalih bahwa aturan ini memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi perempuan dalam rumah tangga poligami. Namun, kenyataannya, kebijakan ini justru dinilai melegitimasi praktik yang selama ini merugikan perempuan.

Alih-alih memberdayakan perempuan, kebijakan ini malah memperkuat budaya patriarki dan memberikan jalan bagi laki-laki untuk menikah lebih dari satu kali dengan dalih “izin resmi.” 

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengkritik aturan ini sebagai langkah mundur dalam perjuangan kesetaraan gender.

Perempuan dan Objektifikasi dalam Narasi Politik

Dalam 100 hari pertama, berbagai pernyataan pejabat yang merendahkan perempuan justru lebih banyak terdengar dibandingkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.

Salah satunya adalah pernyataan  Ridwan Kamil pada Pilkada 2024 lalu. Pasangan calon gubenur dan wakil gubernur Jakarta, Ridwan Kamil dan Suswono, melontarkan pernyataan seksis dan merendahkan kelompok perempuan janda saat melakukan kampanye politiknya.

“Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman. Akan diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubis. Akan diberi sembako oleh Bang Adnan. Dan, kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Ryan,” kata Ridwan

Pernyataan ini dengan jelas menunjukkan bagaimana perempuan, khususnya janda, diperlakukan sebagai objek dalam politik. Alih-alih memandang mereka sebagai individu dengan hak yang sama dalam masyarakat, Ridwan Kamil justru menjadikan mereka bahan candaan dengan mengaitkan kesejahteraan perempuan janda pada relasi mereka dengan laki-laki. Seolah-olah, solusi bagi kehidupan janda bukanlah akses terhadap pendidikan, pekerjaan, atau kebijakan sosial yang inklusif, tetapi sekadar bantuan dari laki-laki. 

Selain bernuansa seksis, pernyataan ini juga memperkuat stereotip bahwa perempuan janda adalah kelompok yang lemah dan tidak bisa mandiri. Padahal, banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga dan berjuang menghidupi anak-anak mereka dengan bekerja keras. 

Objektifikasi perempuan di ruang politik juga terlihat dalam pernyataan Menteri HAM, Natalius Pigai, dalam prosesi pengangkatan pejabat Kementerian HAM. Dalam pidatonya, ia mengatakan:

“Saya sudah 13 tahun tidak punya istri, cuma tiga pacar. Tiga bos, saya tiga aja saya nggak pernah macem-macam. Instagram terbuka, Twitter terbuka, Facebook terbuka, WA terbuka, nggak ada yang teror saya. Karena memang kita baik.”

Pernyataan ini, meskipun bertujuan untuk menyampaikan pesan agar tidak berselingkuh, justru memiliki kecenderungan objektifikasi perempuan. Alih-alih menekankan pentingnya kesetiaan dan penghormatan terhadap pasangan, Pigai lebih berfokus pada jumlah hubungan yang dimilikinya. 

Dengan menyebutkan jumlah pacar yang ia miliki dan menekankan transparansi media sosialnya, Pigai seakan menjadikan perempuan sebagai bagian dari cara membentuk citranya di depan umum. 

Perempuan dalam Pemerintahan: Hanya Sekadar Simbolis?

Minimnya perempuan dalam jabatan strategis semakin mempertegas bahwa keterwakilan perempuan dalam pemerintahan hanya bersifat simbolis. Komisi VIII DPR RI, yang bertanggung jawab atas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, justru dipimpin dan didominasi oleh laki-laki.

Ironisnya, komisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan justru tidak melibatkan perempuan dalam kepemimpinannya. 

Dominasi laki-laki dalam komisi ini memperlihatkan bahwa pemberdayaan perempuan masih dianggap sebagai isu pinggiran yang bisa dikelola tanpa keterlibatan perempuan itu sendiri.

Minimnya Aksi Nyata dalam Perlindungan Perempuan

Selain kebijakan yang cenderung merugikan, pemerintahan Prabowo-Gibran juga masih pasif dalam menangani isu kekerasan terhadap perempuan. Hingga kini, implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih mengalami kendala besar, dan tidak ada langkah konkret dari pemerintahan baru untuk memastikan UU ini berjalan efektif, angka kekerasan terhadap perempuan juga semakin tinggi. 

Otoritarianisme dan Ancaman bagi Kelompok Perempuan

Pola otoritarianisme yang mulai terlihat dalam pemerintahan ini juga membawa ancaman serius bagi kelompok-kelompok marjinal, termasuk perempuan. 

Salah satu contohnya adalah kasus kriminalisasi terhadap aktivis perempuan Fatia Maulidiyanti, yang dikriminalisasi karena mengkritik kebijakan pemerintah terkait eksploitasi sumber daya alam di Papua. 

Fatia, yang selama ini vokal dalam memperjuangkan hak masyarakat adat dan perempuan, justru dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, menunjukkan bagaimana ruang demokrasi semakin menyempit bagi mereka yang berani bersuara.

Ketika kritik terhadap pemerintah tidak didengar, bagaimana mungkin perempuan bisa mendapatkan ruang untuk memperjuangkan hak-haknya? Pemerintah tampaknya belum siap menerima masukan dari berbagai kelompok, termasuk perempuan, yang seharusnya menjadi bagian integral dalam pengambilan keputusan.

Tanpa keterwakilan perempuan yang substantif dalam proses legislasi dan kebebasan untuk menyuarakan kritik, kebijakan seperti ini akan terus lahir dan memperburuk ketidakadilan struktural bagi perempuan di Indonesia.

(Humaira Ratu)

Berita Terkait

Berita Terkini