Trending

Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi

Di tengah perkembangan industri media yang semakin pesat, jurnalis perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan kompleks, baik dari sisi profesional maupun personal.

Vania Rossa

Francisca Christy Rosana, jurnalis Bocor Alus Tempo. (dok. pribadi)
Francisca Christy Rosana, jurnalis Bocor Alus Tempo. (dok. pribadi)

Dewiku.com - Di tengah perkembangan industri media yang semakin pesat, jurnalis perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan kompleks, baik dari sisi profesional maupun personal.

Francisca Christy Rosana, jurnalis Bocor Alus Tempo, mengatakan realitas ini masih menjadi fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dari industri media.

Dominasi Gender di Ruang Redaksi

Menurut riset Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, representasi jurnalis perempuan bahkan belum mencapai 30 persen dari total jurnalis di Indonesia. Situasi ini menciptakan lingkungan kerja yang "male-dominated" di ruang redaksi, yang berimplikasi pada berbagai aspek kerja jurnalistik.

"Ruang redaksi di industri media itu male-dominated," ungkap Francisca di Live Instagram Dewiku, Senin (10/02) lalu.

Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara Asia Tenggara dan Asia secara umum. Kesenjangan ini semakin terlihat pada posisi-posisi strategis, di mana jumlah perempuan yang menduduki posisi top level di industri media masih dapat dihitung dengan jari.

Hambatan Karir dan Beban Ganda

Salah satu temuan yang memprihatinkan adalah adanya fenomena "glass ceiling" bagi jurnalis perempuan, terutama setelah mereka menikah dan memiliki anak. Karir mereka seringkali mengalami stagnasi karena adanya beban ganda - antara tanggung jawab profesional dan domestik.

"Rata-rata pekerjaan wartawan perempuan atau profesi wartawan perempuan itu stuck ketika mereka sudah menikah, ketika mereka sudah punya anak," jelas Francisca. 

Situasi ini menciptakan ketidaksetaraan kesempatan pengembangan karir antara jurnalis perempuan dan laki-laki.

Kerentanan terhadap Pelecehan dan Ancaman Digital

Jurnalis perempuan menghadapi risiko ganda dalam profesi mereka. Selain tantangan profesional, mereka juga rentan terhadap pelecehan seksual, baik dari lingkungan kerja maupun narasumber. Di era digital, ancaman semakin berkembang dalam bentuk doxing dan serangan digital lainnya.

"Jurnalis perempuan rentan terhadap doxing, apalagi ada tren "kill the messenger" di mana jurnalis yang menulis berita sensitif menjadi target serangan,” ungkap Fransisca.

Objektifikasi terhadap jurnalis perempuan juga masih terjadi, terutama bagi mereka yang tampil di platform digital seperti podcast.

Urgensi Dukungan Institusional

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, Fransisca menyampaikan bahwa dibutuhkan dukungan institusional yang kuat dari media. Beberapa bentuk dukungan yang diperlukan meliputi:

  1. Penyediaan ruang yang setara untuk pengembangan karir
  2. Penciptaan lingkungan kerja yang aman dan responsif gender
  3. Sistem mitigasi dan respons cepat terhadap ancaman kekerasan atau pelecehan
  4. Pengakuan terhadap perspektif unik yang dibawa jurnalis perempuan dalam peliputan

Nilai Tambah Perspektif Perempuan

Keberadaan jurnalis perempuan membawa perspektif yang vital dalam peliputan, terutama untuk isu-isu sensitif.

"Jurnalis perempuan akan punya pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan jurnalis laki-laki, terutama ketika menulis soal isu-isu sensitif seperti kekerasan seksual," tegas Francisca.

Meski industri media terus berkembang, tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan masih nyata dan kompleks. Diperlukan upaya sistematis dan berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang lebih setara dan aman bagi jurnalis perempuan.

Hal ini bukan hanya demi kesetaraan gender, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas jurnalisme Indonesia secara keseluruhan melalui keberagaman perspektif dalam peliputan.

(Nurul Lutfia)

Berita Terkait

Berita Terkini