Trending
Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
Paternity leave memberi ruang bagi ayah untuk hadir secara aktif dalam hari-hari pertama kehidupan anaknya, sekaligus meringankan beban istri yang masih dalam masa pemulihan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Di balik euforia kelahiran anak, ada perjuangan besar yang kerap tak terlihat—terutama dari sisi ibu. Masa pasca melahirkan menjadi periode penuh tantangan, baik secara fisik maupun emosional. Dalam fase inilah kehadiran pasangan, terutama sang ayah, memegang peran penting. Itulah mengapa paternity leave atau cuti ayah hadir bukan sekadar bentuk libur kerja, melainkan langkah konkret mendukung ibu secara menyeluruh setelah melahirkan. Di sisi lain, paternity leave juga mencerminkan budaya kerja yang semakin manusiawi dan inklusif.
Paternity leave memberi ruang bagi ayah untuk hadir secara aktif dalam hari-hari pertama kehidupan anaknya, sekaligus meringankan beban istri yang masih dalam masa pemulihan. Kehadiran fisik dan emosional ayah selama masa ini terbukti memperkuat ikatan keluarga, mengurangi risiko baby blues pada ibu, serta meningkatkan kesejahteraan mental kedua orang tua. Sayangnya, hingga hari ini, pemberian cuti ayah masih menjadi hal yang belum merata di banyak perusahaan di Indonesia.
Baca Juga
Koper Ringan, Gaya Baru Menjelajah Dunia Tanpa Beban
Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi
Musikal untuk Perempuan: Merayakan Persahabatan Lewat Lagu Kunto Aji dan Nadin Amizah
Melangkah Sendiri, Merdeka Sepenuhnya: Kenapa Perempuan Pilih Solo Traveling?
Jadikan Diri Kamu Wanita Berkelas dengan 5 Trik Fashion Ini
Berbeda dengan maternity leave yang sudah menjadi hak dasar pekerja perempuan, paternity leave masih kerap dianggap sebagai "bonus" atau bahkan "kebijakan opsional." Padahal, dunia kerja saat ini mulai bergeser dari budaya kerja yang kaku menjadi lebih empatik dan suportif. Perusahaan yang memberi akses terhadap cuti ayah bukan hanya menunjukkan kepedulian pada karyawan, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja yang menghargai peran keluarga.
Mendukung perjalanan perempuan Indonesia menjalankan peran penting menjadi seorang ibu, negara sebenarnya memiliki UU Kesejahteraan Ibu dan Anak No. 4 Tahun 2024 Pasal 6 Ayat 2, yang mengatur bahwa pekerja pria atau suami berhak mendapatkan cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama 2 (dua) hari dan dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.
Dan berdasarkan data dari laporan terbaru Jobstreet by SEEK berjudul “Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan 2025” yang akan diluncurkan di akhir bulan April ini, ditemukan bahwa paternity leave merupakan jenis cuti khusus yang kerap menjadi tren sepanjang tahun 2024.
Laporan yang didasarkan pada survei terhadap 1.273 praktisi rekrutmen dan SDM di Indonesia ini menemukan bahwa 43% perusahaan telah memberikan paternity leave sebagai opsi cuti khusus kepada pegawai laki-laki yang membutuhkan.
Namun di sisi lain, jumlah yang sama menyatakan bahwa tidak memberikan dan bahkan tidak akan mengadakan jenis cuti ini bahkan sebagai opsi kedepannya. Sedangkan, sebanyak 14% perusahaan telah memberikan paternity leave sebagai opsi cuti khusus baru atau akan memberikan dalam waktu 12 bulan ke depan.
Rekomendasi bagi Perusahaan untuk Terapkan Budaya Kerja Inklusif
Paternity Leave menjadi salah satu cara agar sang Ayah juga dapat berkontribusi dalam mengasuh anak serta memberikan kesempatan bagi sang Ayah untuk mendapatkan quality time dan hubungan yang erat dengan anak.
Untuk mewujudkan keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan melalui kebijakan paternity leave yang efektif, perusahaan dapat mempertimbangkan langkah-langkah seperti:
1. Rancang Kebijakan yang Jelas dan Inklusif
Tentukan durasi cuti yang sesuai, misalnya 2-8 minggu, dan pastikan kebijakan ini tertulis dalam buku pedoman pegawai, termasuk prosedur pengajuan, syarat kelayakan, dan apakah cuti ini dibayar atau tidak.
2. Sosialisasikan dan Dorong Penggunaan Paternity Leave
Pastikan manajemen dan tim HR aktif menginformasikan kebijakan ini kepada seluruh pegawai. Dorong para Ayah untuk memanfaatkan hak ini tanpa rasa takut akan stigma atau dampak negatif terhadap karir mereka.
3. Dukungan Selama dan Setelah Cuti
Siapkan rencana kerja selama pegawai menjalani cuti dan fasilitasi proses reintegrasi mereka ke lingkungan kerja setelah cuti berakhir. Komunikasi yang baik antara pegawai, atasan, dan HR sangat penting dalam tahap ini.
4. Evaluasi dan Perbaikan Kebijakan Cuti Secara Berkala
Lakukan evaluasi terhadap kebijakan paternity leave secara berkala, misalnya setiap tahun, untuk menilai efektivitasnya dan melakukan penyesuaian yang diperlukan berdasarkan umpan balik dari pegawai.
Berdasarkan data dari riset Populix di tahun 2024, disebutkan juga bahwa sebesar 56% perusahaan di Indonesia memberikan cuti melahirkan selama 3 bulan yang menandakan sejumlah perusahaan telah mengambil langkah progresif sebagai bentuk dukungan nyata terhadap perempuan dan agar sang Ibu lebih bisa mendapatkan waktu bersama di 1000 hari pertama dari sang anak dilahirkan.
Dengan menawarkan jenis cuti khusus seperti paternity dan maternity leave, perusahaan sedang membangun reputasi sebagai institusi yang berorientasi masa depan—bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga nilai. Ditambah lagi, langkah ini juga dapat menjadi bentuk keberlanjutan dari semangat emansipasi karena mendukung terciptanya ruang bagi perempuan untuk pulih sepenuhnya agar bisa tetap berkarya.
Dengan semangat Hari Kartini, inilah saat yang tepat bagi perusahaan untuk mengaji ulang, sudahkah mereka memberi ruang bagi para Ayah untuk hadir bersama sang Ibu pasca melahirkan?